Meraba Braille, Membaca dan Menulis Dalam 'Kegelapan'
You are never too old to learn...
Kalimat ini rasanya cocok disematkan kepada Enden yang kini genap berusia 55 tahun. Di usia senjanya, Enden bersikukuh ingin belajar huruf braille agar bisa tetap membaca buku dan juga membaca Al-Quran.
"Saya jujur ya memang ingin sekali belajar. Ini Alhamdulillah akhirnya sudah bisa belajar walaupun baru sekali ini," kata Enden saat berbincang dengan CNNIndonesia.com akhir 2023 lalu, tepatnya di bulan Desember, hari pertama Enden dikenalkan dengan huruf latin braille.
Enden mengaku kehilangan penglihatan sekitar delapan tahun lalu. Penyakit glaukoma, si pencuri penglihatan telah mengambil visinya sedikit demi sedikit hingga hilang sama sekali.
Lihat Juga :HARI BRAILLE SEDUNIA Mengenal Braille dan Manfaatnya, Penerang bagi Hidup Tunanetra |
Di tahun awal mulai kehilangan penglihatan, dia fokus mengobati rasa sakit akibat penyakit glaukoma yang terasa di hampir seluruh tubuhnya. Enden pun menunda niatnya untuk belajar baca huruf braille.
Kini, yang tersisa dari glaukoma hanya penglihatannya yang hilang tanpa rasa sakit di tubuh, tekad Enden pun makin kuat buat belajar. Dia kini resmi menjadi satu dari puluhan murid braille di Yayasan Mitra Netra yang memang terdiri dari berbagai usia.
Selain itu, rasa bosan dan suntuk karena hanya menghabiskan waktu di rumah membuatnya makin bertekad untuk belajar braille. Katanya, kalau sudah paham braille, dia bisa membunuh waktu dengan membaca buku menggunakan jari-jarinya.
"Ya saya kan ingin bisa baca lagi. Rasanya bosan kalau diam saja tanpa kegiatan. Selain itu saya juga ingin bisa ngaji lagi," katanya.
Ingatan dan sentuhan
Belajar braille bukanlah perkara mudah. Apalagi dilakukan di usia senja seperti Enden yang usianya sudah setengah abad lebih.
Maklum saja, braille bukan hanya memanfaatkan jari jemari. Daya ingat juga ikut andil dalam proses belajar huruf ini.
Di hari pertama Enden belajar braille, dia baru dikenalkan dengan 10 huruf dari A sampai J. Perkenalannya pun bukan untuk jari atau indera peraba, melainkan daya ingatnya.
Lihat Juga :HARI BRAILLE SEDUNIA Hari Braille Sedunia, Sebuah Warisan bagi Difabel Penglihatan |
"Tantangannya ya itu, kalau masih muda ingatannya pasti tajam jadi gampang menghafalnya. Saya malah ini sudah tua jadi sudah pikun, pusing ngingat-ngingatnya," kata Enden.
Walau kesulitan, Enden mengaku tak ingin menyerah. Dia tak mau kegelapan membuatnya lupa cara membaca.
Kata dia, sesulit apapun huruf braille, bisa membaca tanpa menyusahkan orang sekitar adalah tujuan yang ingin dicapainya.
"Saya gak enak kalau minta anak terus buat bacain buku. Jadi saya harus belajar biar bisa baca sendiri. Bisa ngaji lagi, baca buku lagi, begitu," katanya.
Bukan titik di alphabet
Orang awam mungkin mengira huruf braille adalah alfabet yang diberi titik-titik timbul. Tapi ternyata bukan begitu, huruf braille adalah aksara latin yang diberi simbol titik timbul yang mudah dikenali jari jemari dengan beberapa simbol titik sebagai pembedanya.
Kepala Bagian Humas Yayasan Mitra Netra, Aria Indrawati mengatakan huruf braille adalah sistem tulisan sentuh yang digunakan tunanetra. Jadi bukan huruf yang diberi titik timbul, melainkan ada sistem khusus yang diciptakan untuk memudahkan tunanetra mengenali huruf dan bisa membaca.
"Ada sistemnya. Jadi jangan salah paham. Kami menggunakan huruf braille itu pakai simbol titik yang dipadukan dengan huruf latin," kata Aria.
Para murid di Mitra Netra akan diajarkan bagaimana mengingat huruf, membaca, dan menulis. Alat tulis yang digunakan untuk menulis braille juga bukan pulpen dan kertas biasa, alat ini khusus. Digunakan untuk menciptakan huruf timbul.
"Namanya riglet. Ada kotak enam baris di situ untuk menciptakan tulisan timbulnya," kata Aria.
Selain riglet, kertas yang digunakan juga merupakan kertas khusus berukuran lebih tebal. Gunanya agar tulisan bisa timbul tanpa melubangi kertas.