Ayah-ayah yang 'Hilang' dalam Belenggu Patriarki

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Rabu, 19 Jun 2024 11:00 WIB
Budaya patriarki yang melekat di Indonesia membuat sosok ayah seolah 'hilang' dari kehidupan anak. Tak apa ayah sibuk bekerja, yang penting ibu mengurus anak.
Ilustrasi. Budaya patriarki yang melekat di Indonesia membuat sosok ayah seolah hilang dari kehidupan anak. (sarahbernier3140/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia --

Bagi Rahayu (29), sosok pria matang yang usia terpaut puluhan tahun darinya lebih menggoda dibandingkan yang seumuran. Urusan cinta, ia selalu jatuh ke pelukan 'om-om', yang sejatinya lebih cocok menjadi ayahnya.

Perempuan yang akrab disapa Ayu ini sadar, keinginan akan hubungan dengan pria yang jauh lebih tua ini tak hadir tanpa alasan. Sejak usia 5 tahun, Ayu tak lagi merasakan kasih sayang ayah.

"Ayah sibuk kerja, sih, kayaknya dulu. Jarang ada di rumah, tahu-tahu pisah [dari ibu]," ujar Ayu saat bercerita pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ayah sebenarnya ada di sekitar Ayu, meski tinggal di atap yang berbeda. Tapi, sosok ayah ini tak pernah hadir secara emosional untuk Ayu. Paling-paling, peluk hangat ayah hanya didapat Ayu setahun sekali saban Lebaran.

Ayu bisa dibilang mengalami kondisi yang kini dikenal dengan istilah fatherless atau father hunger. Istilah ini merujuk pada kurangnya figur ayah dalam proses tumbuh kembang anak atau bahkan tidak ada sama sekali.

Cerita lain dialami si kecil Rimpang (6) yang kini ogah kalau ditinggal hanya berdua dengan ayahnya. Tak apa-apa ada ayah, tapi harus ada ibu. Jika hanya ada ayah, Rimpang mengamuk.

"Anakku enggak mau ditinggal berdua cuma dengan bapaknya," ujar Rima, sang ibu, saat bercerita pada CNNIndonesia.com.

Sejak bayi, Rimpang tumbuh tanpa ayah yang sibuk bekerja di luar kota. Perlahan, kesibukan itu membuat Rimpang jadi tak terbiasa jika harus ditinggal berdua dengan ayahnya sendiri.

Jika ada apa-apa pun, Rimpang selalu mengeluh dan tampak lebih nyaman dengan ibunya. Ajakan bermain dari ayahnya juga seolah jadi hal yang aneh bagi Rimpang.

Figur ayah tak melulu hanya menyoal kehadirannya secara fisik, tapi juga secara emosional.

Beberapa tahun belakangan, topik fatherless ramai jadi perbincangan. Kala itu, sejumlah artikel menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga negara paling fatherless di dunia.

Meski tak jelas asal-muasal dari klaim tersebut, namun fatherless memang nyata terjadi di Indonesia.

Ilustrasi anak sekolahIlustrasi. Fenomena fatherless sebenarnya telah ramai di Indonesia sejak 2015. (Istockphoto/ Fizkes)

Merujuk data Susenas, jumlah anak Indonesia di tahun 2021 mencapai 30,83 juta jiwa. Dari jumlah ini, 2,67 persen atau sekitar 826.875 anak usia dini tidak tinggal dengan ayah dan ibu kandungnya.

Data itu juga memperlihatkan bahwa 7,04 persen atau setara 2.170.702 anak usia dini hanya tinggal dengan ibu kandung tanpa ayahnya. Artinya, dari 30,83 juta anak usia dini yang ada di Indonesia, sekitar 2.999.577 anak kehilangan sosok ayah, baik secara fisik maupun emosional.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga pernah meluncurkan survei berkaitan dengan kurangnya pola asuh anak. Dalam survei berjudul Kualitas Pengasuhan Anak Indonesia: Survei Nasional dan Telaah Kebijakan Pemenuhan Hak Pengasuhan Anak di Indonesia itu ditemukan bahwa keterlibatan orang tua secara langsung dalam proses pengasuhan anak memang masih rendah.

Hanya sekitar 26,2 persen ayah yang mengaku ikut membantu proses mengasuh bersama ibu.

Bukan hanya itu, kuantitas dan kualitas waktu berkomunikasi antara orang tua dengan anak juga masih minim. Secara kuantitas, rata-rata waktu berkomunikasi dengan anak hanya 1 jam per hari, dan 47,1 persen ayah di Indonesia mengakui ini.



Pemerhati anak sekaligus eks Komisioner KPAI Rita Pranawati mengatakan, temuan tingginya fenomena fatherless di Indonesia ini memang sudah terjadi sejak 2015 lalu. Namun, angkanya semakin tinggi saat pandemi mulai masuk pada 2020 lalu hingga saat ini.

"Peran bapak itu terbatas. Hanya mencari nafkah dan ibu yang full time bersama anaknya," kata Rita saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Pengaruh budaya patriarki

Kurangnya peran ayah dalam pengasuhan anak terjadi karena berbagai alasan. Tapi, yang paling besar adalah budaya patriarki yang masih melekat di sebagian besar masyarakat Indonesia.

"Budaya patriarki ini yang membentuk pola kalau ayah, ya, tugasnya hanya mencari uang. Sementara semua urusan domestik di rumah dikerjakan ibu, termasuk mengasuh dan mendidik anak di rumah," kata dia.

Kata Rita, konstruksi gender yang melekat di Indonesia juga membentuk pola bahwa perempuan lah yang harusnya mengasuh anak dan suami tugasnya mencari uang. Derajat suami lebih tinggi dari ibu. Makanya, suami seolah tidak boleh ikut campur dalam urusan domestik, termasuk soal anak.

Ilustrasi anak sekolahIlustrasi. Di tengah budaya patriarki, pola pengasuhan anak seolah diserahkan semuanya pada ibu. (Istockphoto/ Damircudic)

Selain itu, banyak juga ayah yang tidak bisa bersikap baik menghadapi anak. Dalam hal ini, baik yang dimaksud adalah bersikap selayaknya orang dewasa.

Ayah terkadang mendahulukan emosi dan kekerasan ketika 'mendidik' anaknya. Misal, ketika anak melakukan kesalahan, ayah akan menghukum dengan cara memukul, mencubit, memarahi, mengurung, atau hal lainnya yang memicu rasa takut dan traumatik pada anak.

"Anak jadi takut bertemu ayahnya. Relasi yang baik antara ayah-anak pun rusak. Padahal, sosok ayah dalam tumbuh kembang anak itu sangat penting dalam membentuk psikologis, emosi ketika anak ini dewasa," katanya.

Rita juga menjelaskan, kehadiran ayah harusnya terjadi sejak anak dalam kandungan. Anak yang ayahnya selalu membersamai sejak di dalam kandungan biasanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

Anak-anak ini juga memiliki sifat dan sikap yang cenderung positif. Mereka tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan buruk di sekitarnya.

Anak-anak yang memiliki kedekatan emosional yang tinggi dengan ayahnya juga cenderung menghadapi berbagai masalah dengan pikiran terbuka.

Dengan demikian, meski ada ibu yang mengasuh, peran ayah tetap dibutuhkan. Absennya peran ayah dalam tumbuh kembang anak akan memicu gap yang besar dalam diri anak.

Namun, ini bukan berarti pengasuhan ibu menjadi tidak penting. Rita menegaskan, pengasuhan harus dilakukan baik oleh ayah maupun ibu.

"Jadi bersama-sama, bukan digantikan atau menggantikan. Ayah dan ibu harus ada mengasuh anak-anaknya. Tugas ayah bukan hanya mencari nafkah, tapi juga ikut mengurus, membersamai si kecil hingga dewasa agar tidak kehilangan sosok ayahnya," kata Rita.

(asr/asr)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER