Jakarta, CNN Indonesia --
Yunita senang betul saat melihat buah hatinya, Aiman, terlihat lebih percaya diri, utamanya dalam menyelesaikan masalah. Seolah bagi Aiman kini, masalah adalah tantangan yang bisa diselesaikan.
Aiman tak ujug-ujug bisa begitu pede saat berhadapan dengan masalah. Kepedean itu didapatkan Aiman setelah satu setengah tahun belajar di salah satu sekolah alam di wilayah Depok, Jawa Barat.
"Karena semua anak dikasih kesempatan sama guru buat ngomong," kata Yunita pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekolah kurikulum khusus tengah jadi 'primadona' di antara banyak orang tua masa kini. Sekolah ini menawarkan pendekatan belajar yang notabene tidak ditawarkan oleh sekolah dengan kurikulum pada umumnya. Metode belajar yang disesuaikan dengan karakter anak dan jaminan pengembangan karakter si kecil jadi dua di antara banyak hal yang ditawarkan.
Banyak hal yang bikin orang tua kepincut dengan kurikulum-kurikulum khusus. Yunita, misalnya, yang bersama suami sejak jauh-jauh hari telah memikirkan metode atau pendekatan belajar Aiman yang sesuai dengan karakternya.
Pada dasarnya, ia ingin Aiman belajar di sekolah Islam, tapi bukan yang mengharuskan anak bergumul dengan hafalan Al-Qur'an terus-terusan.
"Melihat dari Aiman bukan tipikal yang senang muroja'ah (menghafal Al-Qur'an), takutnya nanti berat di dia. Jadi kami cari yang Islamnya lebih mengajarkan aplikasinya setiap hari. Orientasi enggak ngejar prestasi akademis banget, itu juga jadi pertimbangan," tutur Yunita.
Konsep sekolah alam yang dipilih Yunita memang menggunakan pendekatan yang lebih menyenangkan. Anak belajar lewat permainan dengan berbagai hal yang ada di alam sebagai mediumnya. Anak juga bisa mengaplikasikan hal-hal yang ditemuinya di sekolah dalam kehidupan sehari-hari.
Keputusan Yunita memilih sekolah berkurikulum khusus ini tak salah. Praktisi psikologi anak usia dini Aninda mengatakan, metode atau kurikulum sekolah memang perlu disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan anak.
"Karena setiap anak itu punya minat dan cara belajarnya masing-masing, dan pastinya tiap anak bisa berbeda-beda," ujar Aninda kepada CNNIndonesia.com.
Aninda mencontohkan, anak-anak yang memperlihatkan ketertarikannya pada akademis mungkin akan lebih cocok untuk masuk di sekolah yang menggunakan metode IB atau Cambridge. Sementara untuk anak-anak yang aktif mungkin lebih cocok di sekolah alam atau sentra.
Pengembangan karakter anak sendiri membutuhkan proses yang tidak sebentar. Karena ini pula, pemilihan sekolah yang tepat penting dilakukan sejak dini. Jika bisa dan memungkinkan, anak perlu belajar dengan kurikulum yang sesuai hingga tingkat menengah.
 Ilustrasi. Pengembangan karakter anak jadi salah satu hal utama yang ditawarkan sekolah berkurikulum khusus. (cnnindonesia/safirmakki) |
Tingkat TK menjadi awal pengembangan karakter anak dari sisi eksternal keluarga. Sementara SD adalah tempat di mana karakter anak semakin terbentuk. Orang tua disarankan untuk memilihkan SD dengan kurikulum yang sesuai dengan TK.
Sama halnya saat anak duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Tingkat ini menjadi masa peralihan anak menuju dewasa, yakni masa remaja.
Menurut Aninda, di masa ini anak akan 'berubah' menjadi lebih memberontak dan merasa sudah 'dewasa'. Untuk itu, penanaman karakter masih sangat dibutuhkan agar anak tetap pada jalurnya.
Sementara di tingkat SMA, lanjut Aninda, karakter anak biasanya sudah terbentuk. Pada titik ini, orang tua bisa fokus memilihkan sekolah yang disesuaikan dengan rencana pendidikan anak ke depannya.
"Contoh, masuk SMA negeri agar bisa lebih mudah jalur masuk PTN, atau masuk SMA internasional agar bisa memudahkan masuk universitas di luar negeri," ujar Aninda mencontohkan.
Namun di luar soal pengembangan karakter anak, dalam kasus Yunita, sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi juga ikut memengaruhi. Ia rela menempuh jarak 10 kilometer dari Cibinong, Kabupaten Bogor menuju Depok demi pendidikan terbaik untuk Aiman.
Sebenarnya, Yunita ingin mendaftarkan Aiman di SD negeri di daerah Depok yang ia anggap berkualitas. Namun, keinginannya itu urung dilakukan karena terhalang aturan PPDB zonasi. Alih-alih memaksakan diri ke sekolah yang dinilai kurang pas, Yunita lebih rela menempuh jarak berdurasi 20-30 menit ke Depok demi pendidikan terbaik untuk Aiman.
Pengamat pendidikan dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menilai sebenarnya hal itu tak semestinya terjadi jika ada win-win solution dari pemerintah daerah setempat soal aturan PPDB Zonasi.
"Ini sebenarnya harus ada kerja sama untuk bisa saling membantu, bahwa anak yang ada di Cibinong ini, ketika ingin sekolah di Depok, karena tertarik di Depok, berikan kesempatan oleh pemerintah dengan batasan kuota tertentu," ujar Heru pada CNNIndonesia.com.
Heru menilai masih banyak yang kurang dari sistem PPDB zonasi. Selain jumlah sekolah di sejumlah wilayah yang masih terbilang minim, Heru juga menyoroti masalah infrastruktur dan kualitas guru yang seyogianya menjadi perhatian agar pemerintah bisa memberikan layanan pendidikan terbaik bagi anak-anak di Indonesia.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya..
Kurikulum 'mahal'
Katanya, ada harga ada kualitas. Frasa ini rasanya cocok disematkan pada sekolah-sekolah berkurikulum khusus yang jumlahnya berjubel saat ini.
Yunita, misalnya, yang harus merogoh kocek hingga Rp14 juta untuk biaya masuk Aiman ke sekolah alam. Belum lagi uang kegiatan tahunan sebesar Rp4 juta, dan SPP bulanan sebesar Rp800 ribu.
Hal yang sama juga dialami Iksan. Untuk memasukkan Orhan ke TK berkurikulum Montessori yang diinginkannya, ia harus merogoh kocek Rp7 juta sebagai biaya masuk dengan uang bulanan sebesar Rp550 ribu.
Akibatnya, label sekolah mahal yang diperuntukkan bagi orang-orang kaya menempel erat di antara sekolah-sekolah berkurikulum khusus ini.
Padahal, sebenarnya sekolah berkurikulum khusus tak selalu harus mahal. Tengok saja Sekolah Batutis Al-Ilmi di Bekasi, Jawa Barat. Sekolah ini mengusung kurikulum dan metode belajar sentra atau beyond centers and circle time (BCCT).
Pada 18 tahun yang lalu, sekolah ini didirikan khusus untuk anak-anak tidak mampu. Tapi lambat laun, sekolah yang didirikan oleh Siska Yudhistira Massardi ini pun terbentuk dengan sendirinya, namun dengan biaya yang masih ramah kantung.
Berbekal ilmu dari Wismiarti Tamin, perintis metode belajar sentra di Indonesia, Siska pun mantap menjalankan Batutis dengan metode yang sama.
Metode sentra adalah model kurikulum pendidikan anak usia dini yang dirancang oleh Pamela C Phelps, seorang pendidik asal Florida, Amerika Serikat. Sekolah dengan kurikulum sentra juga dirancang untuk membangun dan menguatkan karakter anak sejak dini.
Siska menilai metode sentra terbilang lengkap karena berasal dari gabungan sejumlah metode belajar terbaik yang sudah ada.
"Kedisiplinan ada di Montessori, happy learning juga diambil dari beberapa metode belajar ada lagi dari sekolah alam juga kebebasan. Ada semua di metode sentra, bebas tapi ada batasan," jelas Siska.
Sekolah yang dibangun Siska menerapkan in-direct teaching dengan enam pembelajaran sentra. Di antaranya sentra bahan alam, sentra seni, sentra peran, sentra balok, sentra persiapan, dan sentra imtak.
Manfaat yang nyata
 Suasana Sekolah Batutis Al-Ilmi di Bekasi, Jawa Barat yang menerapkan metode pembelajaran sentra. (CNN Indonesia/Putri Annisa) |
Iksan, seorang pria asal Tangerang Selatan, melihat banyak perkembangan dari buah hatinya, Orhan. Si kecil mulai masuk di kelas TK A pada pertengahan tahun lalu.
Iksan memilih sekolah yang menggunakan pendekatan Montessori. Nama terakhir adalah metode pendidikan yang dikembangkan oleh Maria Montessori pada awal 1900. Metodenya fokus pada pengembangan potensi anak dengan memberikan kebebasan belajar dan menggunakan alat belajar sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
"Kami ingin Orhan belajar mengembangkan bakat dan keinginannya sejak dini," ujar Iksan. Di sekolah berkurikulum Montessori, lanjutnya, anak-anak lebih bebas berekspresi. Pembelajaran dari guru pun lebih ke arah memandu, bukan memaksa.
Hasilnya, kini Orhan mulai berani tampil di depan publik. Ia juga mulai detail dan disiplin untuk melakukan sesuatu, seperti rajin mencuci tangan sebelum makan.
Banyaknya manfaat dari kurikulum sekolah yang mumpuni juga diamini oleh Aninda. Menurut dia, kurikulum sekolah yang baik dan cocok dengan karakter serta kebutuhan anak bisa membuat mereka lebih mudah menerima dan memahami pelajaran yang diberikan, sehingga bisa menumbuhkan rasa senang belajar. Kurikulum ini juga dapat mengasah kemampuan berpikir kritis dan resiliensi (ketangguhan) anak.
"Juga membentuk pribadi yang selaras dengan metode pembelajaran yang diberikan. Misalkan, sekolah agama membentuk pribadi yang cinta beribadah, sekolah Montessori membentuk pribadi yang lebih mengenal potensi personalnya, dan sebagainya," jelas Aninda.
Meski demikian, Aninda mewanti-wanti para orang tua agar memerhatikan berbagai aspek sebelum memutuskan menyekolahkan anak dengan kurikulum tertentu. Orang tua diminta untuk lebih memahami kurikulum yang akan diambil agar sesuai dengan karakter anak.
"Pastikan juga, sebagai orang tua, kita mampu mendukung pembelajaran yang selaras dengan kurikulum tersebut di rumah," ujar Aninda mengingatkan.
Dengan kata lain, orang tua tak bisa hanya mengandalkan sekolah untuk kewajiban mendidik anak. Orang tua seyogianya tetap menjadi 'sekolah pertama' bagi anak.
"Misalnya ingin memasukkan [anak] ke sekolah agama, berarti orang tua juga perlu aktif mengembangkan ajaran agama di rumah. Kembali lagi, agar tercipta pendidikan yang holistik dan selaras," ujar Aninda.
Manfaat dari kurikulum khusus ini juga diamini oleh Heru. Ia tak menampik jika pilihan orang tua untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta dengan berbagai kurikulum jadi sebuah kritik dan masukan tersendiri bagi pemerintah untuk terus berbenah.
"Orang tua punya pertimbangan untuk menyekolahkan anaknya di mana saja, sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman mereka akan kurikulum belajar, serta kemampuan finansial masing-masing keluarga," jelas Heru.
Yang jelas, Heru mengingatkan, sekolah harus memiliki tiga fungsi. Di antaranya fungsi kuantitatif dan kualitatif dalam hal transfer ilmu, serta fungsi validatif berupa rapot dan ijazah yang bisa membuktikan anak telah lulus dari berbagai jenjang pendidikan.
Toh, setiap orang tua tentu menginginkan pendidikan yang terbaik untuk buah hatinya.