Cerai atau Selingkuh, Kenapa Perempuan Salah Melulu?

CNN Indonesia
Selasa, 13 Agu 2024 16:45 WIB
Ilustrasi. Ahli jelaskan mengapa perempuan sering kali jadi pihak yang disalahkan dalam banyak persoalan rumah tangga. (iStock/PonyWang)
Jakarta, CNN Indonesia --

Entah ada kasus perceraian atau perselingkuhan dalam rumah tangga, publik langsung menuding perempuan sebagai kambing hitamnya. Mengapa demikian?

Baru-baru ini publik dikejutkan dengan kabar komedian Andre Taulany menggugat cerai sang istri, Rien Wartia Trigina. Andre mengaku keduanya beda prinsip selama lebih dari 10 tahun. Pun setahun terakhir mereka sudah pisah ranjang.

"Ini mungkin yang terbaik ya, karena keputusan kan tidak diambil secara mendadak, tentu sudah dipikirkan matang-matang dan tentu sudah mengalami proses saling diskusi," ujar Andre.

Kabar ini menuai beragam respons publik. Namun yang cukup mencuri perhatian adalah komentar netizen yang menyorot sang istri.

"Memang lebih baik cerai, mulut binimu ke mana-mana," tulis seorang netizen di kolom komentar Instagram Andre.

"Cerai? Baguslah istri kamu hedon," ujar yang lain.

"Istrinya kontroversi terus," imbuh seorang pemilik akun.

Perempuan lagi, perempuan lagi

Sebenarnya tak hanya dalam kasus perceraian, perempuan juga kerap disalahkan ketika sang suami berselingkuh. Dalam hal ini, perempuan sering dicap sebagai istri yang kurang merawat diri, tidak bisa memuaskan suami, hingga tak becus merawat keluarga.

Hadriana Marhaeni Munthe, pengajar di Prodi Magister Sosiologi Universitas Sumatera Utara (USU), menuturkan rumah tangga sebenarnya merupakan wilayah privat. Ketika masalah rumah tangga sampai ke wilayah publik, tidak semua informasi dari wilayah privat terungkap ke publik.

"Masyarakat pun pakai stereotip bahwa perempuan adalah aktor yang selalu dipersalahkan. Siapa yang menyalahkan? Ada suatu desain, mesin yang sangat hebat. Mesin itu sama kayak Tuhan yang menentukan salah dan benar, struktur sosial, nilai, budaya yaitu, patriarki," jelas Marhaeni saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (12/8).

Patriarki merupakan sistem nilai yang meletakkan laki-laki di posisi lebih unggul ketimbang perempuan. Menyalahkan perempuan ketika ada masalah rumah tangga jadi bentuk cara berpikir patriarki.

Meski berpihak dan lekat dengan laki-laki, nilai-nilai patriarki sebenarnya juga merasuk ke pemikiran perempuan. Marhaeni mengambil teori habitus yang dicetuskan sosiolog Prancis Pierre Bourdieu.

Nilai patriarki jadi nilai yang dipelajari dalam struktur masyarakat termasuk keluarga. Kemudian nilai ini dijadikan nilai personal.

"Perempuan diperlakukan enggak adil, dilecehkan, dia enggak melawan. [Anggapannya] ini caraku mengabdi, sesuai nilai yang diterima. Suami menikah lagi, ada simpanan, dia cuma bisa menerima, enggak boleh melawan. Itu adalah nilai yang ditanamkan pada perempuan, itu jadi habitus," kata Marhaeni.

Ada peran media sosial dan media massa

Ilustrasi. Psikolog klinis Nisfie Hoesein mengatakan perempuan kerap disalahkan dalam rumah tangga akibat pengaruh historis. (iStockphoto/asiandelight)

Psikolog klinis Nisfie Hoesein sepakat dengan Marhaeni menyoal patriarki.

Dia juga mengingatkan bahwa selain nilai patriarki, perempuan kerap disalahkan akibat pengaruh historis pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga serta pengaruh pengemasan informasi di dunia digital.

Dilihat secara historis, laki-laki atau suami punya peran sebagai provider termasuk penyedia tempat tinggal, makanan dan kebutuhan lain. Sementara itu perempuan atau istri bertugas memelihara hubungan, penyedia kenyamanan, kasih sayang, menyediakan kepuasan seksual, serta tugas domestik lain.

"Ketika ada laki-laki selingkuh, maka perempuan dianggap gagal sebagai istri khususnya peran pemelihara hubungan dalam keluarga," kata Nisfie dalam wawancara terpisah.

Selain itu, dia juga menyorot penyederhanaan kasus oleh media massa dan media sosial.

Dunia digital jadi wadah yang gampang diakses untuk memperoleh informasi, tapi tak jarang informasi dikemas simpel, bombastis demi mendapat perhatian publik.

Padahal menurut Nisfie, masalah cerai atau perselingkuhan merupakan masalah yang kompleks. Namun sumber masalah rumah tangga, misal, perbedaan persepsi dalam manajemen keuangan jelas kurang laku dibanding soal kehadiran orang ketiga.

Sudah jatuh tertimpa tangga pula

Selain menghadapi masalah rumah tangga, perempuan juga harus berhadapan dengan stigma yang disematkan publik padanya. Marhaeni menyorot jarang sekali perempuan dibicarakan perihal perjuangannya mengurus keluarga setelah ditinggal suami.

"Saya ambil contoh perempuan Batak. Kenapa perempuan Batak Toba itu, mereka cerai, ditinggal suami meninggal atau selingkuh, enggak menikah lagi tapi berjuang untuk keluarga. Itu jarang disuarakan," ujarnya.

Berbeda dengan laki-laki di mana publik mendorong si laki-laki untuk menikah lagi untuk mendapatkan istri yang lebih baik.

Nisfie menuturkan perempuan memang jadi pihak yang paling terdampak, bahkan bisa sampai memengaruhi kesehatan mentalnya.

"Ia dihantui penilaian negatif dari sekitar, tanpa dikasih kesempatan membela diri, enggak bisa menyetarakan posisinya," katanya.

Selain itu, publik yang terus menyalahkan bisa berdampak pada fungsi keseharian perempuan. Perempuan enggan berinteraksi, banyak menarik diri sehingga kecenderungan depresi semakin tinggi.

Selain depresi, masalah ini pun bisa memicu gangguan kesehatan fisik di mana jarang bergerak karena mengurung diri di kamar, gangguan makan seperti bulimia.

"Kemudian [berdampak pada] self image, dia meragukan diri sendiri. Tadinya dia disalahkan orang lain, berimbas menyalahkan diri sendiri. Menganggap diri tidak layak," imbuhnya.

(els/pua)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK