Mengapa Banyak Korban KDRT Bertahan dalam Pernikahan yang Toksik?

CNN Indonesia
Jumat, 16 Agu 2024 09:03 WIB
Ilustrasi. Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap bertahan dalam hubungan yang jelas toksik. (Istockphoto/JOHNGOMEZPIX)
Jakarta, CNN Indonesia --

Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap bertahan dalam hubungan yang jelas toksik. Mengapa bisa demikian?

Kasus KDRT yang menimpa selebgram Cut Intan Nabila ramai jadi disorot publik. Sang suami Armor Toreador (AT) kini telah ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT oleh pihak kepolisian.

Penangkapan dan penetapan tersangka AT terjadi tak lama setelah Intan mengunggah video yang memperlihatkan dirinya jadi sasaran aksi kekerasan sang suami. Video tersebut kemudian viral di media sosial.

Dalam pemeriksaan, diketahui bahwa Armor telah melakukan kekerasan pada istrinya sejak 2020 lalu. Kekerasan bahkan diakuinya telah dilakukan lebih dari lima kali.

"Saya tidak akan melakukan pembelaan apa pun, saya mengakui saya salah, saya berjanji menjalani proses hukum," kata Armor dalam konferensi pers di Bogor, Jawa Barat beberapa waktu lalu.

Susah lepas

Hal di atas menggambarkan betapa kekerasan telah berlangsung sejak lama. Selama waktu itu pula, korban memilih diam dan bertahan. Butuh waktu beberapa tahun hingga akhirnya kasus ditangani pihak kepolisian.

Memang, dalam kebanyakan kasus KDRT, banyak korban tak langsung melaporkan atau menindaklanjuti apa yang dialaminya.

Psikolog Mira Amir mengatakan, bahkan ada korban yang sampai akhir hayatnya tidak lepas dari hubungan toksik.

Lantas, apa yang menyebabkan korban bertahan dalam situasi rumah tangga yang tidak menyenangkan tersebut? Berikut penjelasan dari Mira.

1. Kekerasan terjadi hanya di kondisi tertentu

s fist in the foregound of the image" title="Ilustrasi kekerasan perempuan, Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan" />Ilustrasi. Melepaskan hubungan dari pasangan yang toksik memang tak semudah yang dibayangkan. (Istockphoto/lolostock)

Menurut Mira, perlu dilihat lagi apakah aksi kekerasan tersebut terjadi terus-menerus selama berumah tangga atau hanya di kondisi tertentu.

Jika dalam kondisi tertentu, korban umumnya sulit lepas. Pasalnya, pelaku juga bisa menunjukkan sisi positif dirinya hingga membuat korban luluh, memaafkan meski kemudian kekerasan tersebut diulangi lagi.

"Kalau suami hanya marah-marah di kondisi tertentu, di kondisi lain dia suami yang baik, bisa ngelucu, seks bagus, ngasih uang banyak, [ya dimaafkan]," kata Mira saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (15/8).

2. Gaslighting

Orang luar akan melihat apa yang dialami korban sebagai hal buruk dan perlu mendapatkan tindakan tegas. Namun, dari kacamata korban, hal yang sama tak selalu berlaku.

Pasalnya, sikap manipulatif pelaku membuat korban kesulitan memahami realitasnya. Hal tersebut membuat korban merasa dirinya lah yang bersalah, tidak berharga, dan rasa percaya diri yang turun.

"Suami gaslighting nih, menuduh istri yang begitu sehingga suami begini. Akhirnya perempuan, ya, korban gaslighting. Dia enggak paham realitasnya, bingung, kalau mau cerai, berpikir 'kayaknya aku yang salah'," ujar Mira.

Gaslighting merupakan bentuk manipulasi psikologis agar korban meragukan dan menyalahkan diri sendiri. Cara ini digunakan untuk mengontrol korban agar bertindak sesuai keinginan pelaku.

3. Masa kecil yang penuh kekerasan

Mira mengatakan, faktor penyebab korban KDRT sulit lepas dari hubungan toksik salah satunya adalah kenangan tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan pada masa lalu.

Saat korban kecil, bisa jadi sang ayah adalah pelaku kekerasan atau memiliki orang tua dengan hubungan kurang sehat sehingga menemukan kekerasan di usia dewasa jadi sesuatu yang familiar dalam hidupnya.

"Memori psikisnya, tubuhnya, hanya ada kekerasan. Kognitif dia tahu itu salah, tapi enggak bisa lepas karena terbentuk begitu," katanya.

(els/asr)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK