Curhat di media sosial kini sudah jadi barang biasa. Ungkapan cerita bahagia, sedih, hingga kekecewaan pun wira-wiri di media sosial dan bisa dilihat banyak orang.
Mencari teman curhat yang cocok memang bukan perkara mudah. Bisa jadi, hal ini juga yang membuat banyak orang merasa media sosial sebagai wadah yang tepat untuk menuangkan segala perasaan.
Belakangan, ramai diperbincangkan soal seorang selebgram yang curhat di media sosial karena menjadi korban perselingkuhan. Cerita mendetail tentang perselingkuhan itu pun diketahui banyak orang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selebgram itu bukan orang pertama yang curhat di media sosial. Barangkali ada ribuan hingga jutaan orang lainnya yang juga menjadikan media sosial sebagai wadah curhat. Oversharing di medsos kini dianggap wajar.
Psikolog klinis Mira Damayanti Amir mengatakan, orang yang curhat di media sosial sebenarnya adalah mereka yang kondisi emosionalnya belum pulih. Mereka mencari dukungan yang tak didapatkan di dunia nyata.
"Mereka yang curhat ke dunia maya itu nyari dukungan lain yang enggak di dapat di dunia nyata. Sementara kondisi emosionalnya belum pulih. Mereka ke dunia maya buat memenuhi rasa emosionalnya tadi," kata Mira saat dihubungi CNNIndonesia.com,Rabu (7/11).
Mira menambahkan, orang yang suka curhat di media sosial besar kemungkinan merupakan tipikal orang yang sulit mengungkapkan perasaannya secara langsung.
Media sosial bisa membuat mereka merasa bebas menuangkan perasaannya dalam bentuk tulisan. Hal itu biasanya membuat mereka merasa lebih baik dan bebas.
Mereka yang kerap curhat di media sosial juga bisa jadi 'ketagihan' atas validasi perasaan yang didapat dari teman-teman jagat maya.
"Mereka yang curhat [di media sosial] kebanyakan mendapatkan validasi, support," kata Mira.
![]() |
Kebiasaan curhat di media sosial diibaratkan Mira sebagai sebuah kebiasaan yang menular. Melihat banyaknya dukungan yang diberikan teman-teman dunia maya membuat banyak orang pun ingin mendapatkan hal yang sama.
"Sehingga, hal tersebut [curhat di media sosial] seperti ternormalisasi. Enggak apa-apa kok sekarang, malah diterima dan dapat validasi. Mengalami pergeseran gitu, lho," ujar Mira.
Meski sudah dianggap normal, namun Mira mengingatkan untuk tetap membatasi hal-hal yang bisa dibagikan di dunia maya. Sebisa mungkin, jangan bagikan cerita-cerita yang sifatnya sensitif dan terlalu personal.
"Sebenarnya tetap, ya, wilayah pribadi itu sebetulnya tidak sepantasnya kita umbar di medsos, apalagi berkaitan dengan keluarga kita," tambah Mira.
Alih-alih melampiaskan emosi di media sosial, Mira justru menyarankan orang-orang untuk setop sementara bermain di dunia maya saat kondisi emosional sedang tidak stabil. Hindari penggunaan media sosial selama beberapa waktu hingga cukup stabil.
"Turunin emosinya dulu, lebih baik tenang dulu dan bisa berpikir rasional. Apakah pantas untuk di-posting atau tidak. Kadang, postingan kaya gitu, lho, yang menimbulkan konflik berkepanjangan," ujar Mira.
Salah kata atau cerita di media sosial bisa menjadi permasalahan tanpa ujung dan berkelanjutan.
Belajar untuk mengontrol emosi dan mencapai kematangan emosional. Pertimbangkan dampak positif dan negatif sebelum mengunggah sesuatu di dunia maya.
(pli/asr)