Belakangan, media sosial dihebohkan dengan tren #KaburAjaDulu. Tagar ini banyak digunakan oleh warganet yang membahas peluang pindah ke luar negeri, baik melalui beasiswa pendidikan, kesempatan kerja, maupun jalur lainnya.
Meski tampak sebagai tren sesaat, fenomena ini mencerminkan realitas yang lebih besar, brain drain atau migrasi tenaga kerja terampil dari Indonesia ke negara lain.
Tren KaburAjaDulu pertama kali muncul sebagai respons terhadap berbagai ketidakpuasan terhadap kondisi di Indonesia. Mulai dari rendahnya upah, terbatasnya kesempatan kerja, hingga ketidakpastian politik dan ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Warganet yang menggunakan tagar ini umumnya mendiskusikan negara-negara seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat, hingga Australia sebagai destinasi yang lebih menjanjikan dalam hal kesejahteraan dan peluang kerja.
Lebih dari sekadar ekspresi di media sosial, tren ini menunjukkan kecenderungan nyata bahwa banyak individu, khususnya anak muda dan tenaga profesional, serius mempertimbangkan migrasi ke luar negeri untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Tren ini mau tak mau masuk ke fenomena brain drain yang merujuk pada eksodus tenaga kerja terampil dari suatu negara ke negara lain. Sama seperti tren kaburajadulu, brain drain sering kali terjadi karena faktor ekonomi, politik, atau kesempatan profesional yang lebih baik. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini sebenarnya bukanlah hal baru.
Melansir Portal Berita UPI, sejarah mencatat pada era 1960-an, banyak mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur enggan kembali ke Tanah Air akibat pergolakan politik. Hal serupa juga terjadi di era 1980-an ketika pemerintah mengirim banyak mahasiswa berbakat ke luar negeri, tetapi sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap bekerja di negara tujuan karena peluang yang lebih baik.
Saat ini, brain drain tidak hanya terjadi di kalangan akademisi dan ilmuwan, tetapi juga di berbagai sektor industri seperti teknologi, kesehatan, dan bisnis. Banyak tenaga profesional Indonesia yang mendapatkan gaji lebih besar, kondisi kerja yang lebih baik, dan sistem birokrasi yang lebih transparan di luar negeri, sehingga mereka enggan kembali ke Indonesia.
Melansir Investopedia, beberapa faktor utama yang mendorong terjadinya brain drain meliputi:
Banyak tenaga kerja terampil merasa bahwa upah dan peluang kerja di negaranya tidak sebanding dengan kompetensi yang mereka miliki.
Faktor seperti sistem kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial di luar negeri sering kali lebih menjanjikan dibandingkan di negeri sendiri, dalam hal ini Indonesia.
Baca selanjutnya di sini..