Setelah berbulan-bulan perjalanan pengobatan spiritual itu dilakukan tanpa hasil apa pun, keluarga akhirnya menyerah.
Thepi dirujuk ke rumah sakit. Alasannya karena bukan hanya semakin memburuk dari segi psikis, fisiknya pun sakit-sakitan. Percobaan bunuh diri berulang membuat tubuhnya kehabisan rona kehidupan.
"Di rumah sakit, dokter menjelaskan perlahan dengan sabar bahwa skizofrenia adalah gangguan medis, bukan sihir, bukan santet," kata Thepi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari situ, hidupnya berubah, Thepi kembali ke Jakarta dan memulai terapi rutin, menjalani pengobatan dengan disiplin.
Dua tahun lamanya, ia mengikuti saran dokter. Menjalani sesi konseling hingga akhirnya dosis obat dikurangi perlahan, lalu dihentikan sepenuhnya.
"Tapi aku masih terapi. Enam bulan sekali, untuk jaga-jaga. Aku juga diajarin teknik nafas, cara kontrol diri. Dan yang penting, support system," kata dia.
Kehidupan yang sempat retak itu mulai tertata kembali potongannya. Pada tahun 2022, ia melahirkan anak pertamanya.
Alih-alih menjadi momen bahagia semata, proses itu justru membawa badai lain.
"Chaos. Mungkin campur baby blues, mungkin karena aku pikir sudah normal. Tapi ternyata enggak. Sampai dengar bisikan, sampai nyoba bunuh diri lagi. Tapi, aku bisa keluar dari itu." kata dia.
Sekarang, Thepi tinggal di Bandung, bersama anak dan ibunya.
Sebagai seorang ibu tunggal, hari-harinya penuh tantangan, tapi juga penuh keteguhan.
"Anakku tumbuh sehat. Aku pelan-pelan belajar jadi ibu. Ya, susah dijelasin, sih. Tapi sekarang aku udah bisa bedain mana nyata mana enggak."
![]() |
Ia tak lagi mengonsumsi obat, tapi menjaga diri lewat terapi, kontrol emosi, dan dukungan orang-orang terdekat.
Sesekali gejala itu datang menyapa bayangan-bayangan aneh. Tapi ia tak lagi tunduk padanya.
"Beberapa bulan lalu sempat duduk di kamar mandi kontrakan temen, terus lihat simbol-simbol aneh kayak di iPhone. Tapi sekarang aku tahu itu bukan nyata. Dan aku bisa kontrol," kata dia.
Stephania bukan hanya penyintas, dia adalah pejuang. Dalam sunyi yang tak bisa didefinisikan, ia belajar bicara pada dirinya sendiri.
Dalam realita yang kabur, ia menulis ulang kenyataan. Dan dalam kegelapan yang menelan, ia menyalakan cahaya dari dalam.
"Semua tergantung dari support system. Dan keinginan dari diri sendiri," ujarnya mantap.
Hari ini, ia masih melukis, masih menulis. Dan, yang paling penting, ia masih bertahan.
"Aku pernah hampir kehilangan semuanya. Tapi sekarang, aku memilih bertahan. Untuk anakku, untuk diriku," tutupnya.
(asr/asr)