Selain itu, ada pula semacam penampungan air yang menjadi alat menyiksa tahanan. Menurut laporan ada 100 metode penyiksaan yang dilakukan Jepang dan paling terkenal penyiksaan di peti mati berdiri.
Saya lanjut menelusuri tempat eksekusi narapidana. Cat putih yang mengelupas dan kemerahan bara tampak di bangunan eksekusi.
Persis di samping gedung eksekusi terdapat pohon ratapan atau yang disebut wailing poplar tree. Para aktivis yang akan dieksekusi kerap meratapi dan memeluk pohon itu karena sedih Korea tak kunjung merdeka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, saat saya ke sana pohon itu sudah ditebang. Hanya ada batang pohon dengan warna coklat tua kehitaman di samping gedung nyaris serba putih. Perpaduan warna yang begitu kontras. Area ini menyiratkan begitu banyak kesedihan, tragedi, dan sisa-sisa harapan seujung jari.
Tak jauh dari gedung tersebut, ada pohon yang mungkin baru beberapa tahun lalu ditanam. Batang pohon tak setebal pohon yang sudah ditebang dan belum terlalu rimbun.
Saya juga menelusuri ruangan eksekusi itu. Di sini, pengunjung tak boleh mengambil gambar, atau berisik. Ruangan eksekusi mirip ruangan persidangan. Ada dua kursi panjang, satu hadap ke depan dan satu lagi di sebelah kanan.
Di dalam ruangan itu tampak pula pagar pembatas dari kayu. Di depan pagar pembatas ini tergantung tali dan tepat di bawahnya meja dengan ukuran kecil.
Di belakang ruang eksekusi itu, terdapat lorong gelap dan panjang yang pakai untuk membuang para narapidana setelah dieksekusi.
Di Seodaemun Prison History Hall juga terdapat monumen memorial Gedensktein/Denkma atau dikenal bowl of national spirit.
Tugu peringatan tersebut menghormati para pejuang yang gugur di Penjara Seodaemun saat melawan penjajahan Jepang. Nama 165 pejuang yang gugur terukir di mangkuk itu.
"[Ini] mengungkapkan harapan bahwa semangat dan keyakinan patriotik mereka harus menjadi kekuatan pendorong untuk memetakan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini," demikian tulisan dalam papan informasi untuk menjelaskan tugu ini.
Tak cuma masa penjajahan Jepang, di museum ini juga terdapat semacam banner soal peristiwa Gwangju Uprising, perlawanan masyarakat dan warga di sana terhadap pemerintahan yang diktator pasca kemerdekaan.
Bagi saya Seodaemun Prison History Hall menjadi semacam pengakuan Korea Selatan terhadap masa kelam termasuk kekerasan terhadap warga sipil yang terjadi setelah merdeka. Ini juga menjadi alat rekonsiliasi bangsa untuk memetakan masa depan.
Museum ini juga berbicara soal pengorbanan, ketahanan dan keberanian yang membentuk Korea Selatan menjadi seperti sekarang.
Penjara Seodaemun nyaris diratakan dengan tanah pada 1987 usai pusat penahanan Seoul dipindah ke Uliwang Provinsi Gyeonggi. Namun, keturunan aktivis dan pejuang kemerdekaan, akademisi, hingga sejarawan menolak pembongkaran itu. Mereka bersikukuh situs tersebut perlu dilestarikan untuk mengenang penindasan Jepang dan semangat perlawanan Korea.
Sebagaimana kata manajer umum Seodaemun Prison History Hall Lee Seung Yun, tempat ini lebih dari sekadar lokasi yang memperingati gerakan kemerdekaan Korea, tetapi ruang untuk memberi tahu seluruh dunia tentang martabat manusia.
(wiw/wiw)