Stres dan amarah yang berlarut-larut bukan hanya berdampak pada suasana hati. Kondisi ini juga bisa membawa risiko serius bagi kesehatan jantung.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (interventional cardiologist dan internist) di Bethsaida Hospital Gading Serpong, Dasaad Mulijono mengatakan ledakan emosi seperti marah atau stres berat memicu lonjakan hormon tertentu yang bisa berakibat fatal bagi tubuh.
"Salah satu mekanismenya, kalau kita marah-marah, kita mengeluarkan hormon-hormon seperti katekolamin. Hormon ini naik, gula darah naik, tekanan darah juga ikut naik, akhirnya organ-organ bisa rusak," ujar Dasaad ditemui di kawasan Gading Serpong, Tangerang, Kamis (17/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan, katekolamin merupakan hormon stres yang dilepaskan tubuh saat menghadapi tekanan emosional atau fisik. Hormon ini membuat jantung berdetak lebih cepat dan pembuluh darah bisa menyempit, akibatnya, tekanan darah melonjak drastis.
Dalam jangka panjang, lonjakan ini bisa menyebabkan hipertensi kronis yang merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit jantung dan stroke. Selain itu, hormon stres juga bersifat proinflamasi alias memicu peradangan di dalam tubuh.
"Kalau katekolamin tinggi, tubuh kita jadi inflamasi. Nah, inflamasi ini bisa bikin sumbatan di pembuluh darah jantung," katanya.
Inflamasi yang terus-menerus, terutama jika ditambah gaya hidup yang tidak sehat seperti pola makan tinggi kolesterol dan gula, bisa mempercepat proses penyumbatan pembuluh darah. Dengan kata lain, stres menjadi salah satu pemicu 'diam-diam' pembentukan plak yang bisa menyebabkan serangan jantung.
"Jadi teorinya, orang yang kolesterolnya tinggi, makannya tidak dijaga, kemudian ada inflamasi terus karena makan daging, gorengan, dan sebagainya, itu kombinasi sempurna. Kalau gulanya juga tinggi, tensinya tinggi, ditambah lagi stres dan peradangan, maka risiko sumbatan jantung makin besar," jelasnya.
Situasi kritis pun kerap ditemukan di ruang tindakan medis. Dasaad mencontohkan pasien yang hendak menjalani kateterisasi jantung. Saat pasien tidak tenang karena cemas atau stres berat, tekanan darahnya bisa melonjak lebih dari 200 mmHg.
![]() |
"Kadang-kadang kita harus anestesi dulu karena tensinya terlalu tinggi. Kalau tidak, bisa terjadi komplikasi seperti pecah pembuluh darah," ungkapnya.
Oleh karena itu, menjaga kesehatan mental menjadi bagian penting dari pencegahan penyakit jantung. Menurut Dasaad, pendekatan spiritual atau religius juga bisa membantu menurunkan stres.
"Kalau di agama Islam, atau dalam Kristen ada yang bilang 'hati yang bahagia adalah obat'. Itu benar. Makanya kita harus fun, harus happy, jangan stres," kata dia.
(tis/els)