Di sejumlah daerah, terutama saat karnaval atau perayaan tertentu, Anda mungkin pernah menjumpai iring-iringan kendaraan besar dengan speaker raksasa yang menggelegar, mengguncang jalanan, rumah, hingga dada. Fenomena ini dikenal sebagai sound horeg, tradisi yang memadukan seni pertunjukan jalanan dengan kekuatan sistem tata suara ekstrem.
Tapi, di balik gegap gempita yang memukau sebagian orang, tersimpan potensi bahaya serius bagi pendengaran.
Sound horeg bukan sembarang sistem suara. Ia adalah rangkaian sound system berukuran besar, yang dirancang khusus untuk mengeluarkan suara sangat keras, terkadang mencapai lebih dari 135 desibel (dB).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai perbandingan, desibel suara konser musik live umumnya berkisar 110-120 dB, sedangkan suara mesin jet dari jarak dekat bisa mencapai 140 dB.
Dengan intensitas sebesar itu, tak heran jika suara dari sound horeg bisa menggetarkan kaca rumah hingga membuat dada terasa berdebar. Namun, seberapa amankah suara sebesar itu untuk manusia?
Merangkum berbagai sumber, manusia memiliki kemampuan mendengar frekuensi suara mulai dari 20 Hz hingga 20 ribu Hz. Frekuensi ini dikenal sebagai rentang audio.
Di luar angka tersebut, suara tidak lagi terdengar oleh telinga manusia, meski bisa dirasakan oleh hewan atau bahkan tubuh manusia dalam bentuk getaran.
"Gelombang suara itu ada frekuensinya, dan kalau kita bisa mendengar bunyinya, berarti itu masuk dalam rentang frekuensi audio," jelas Hana Arisesa Ketua Kelompok Riset Radio Frekuensi, Microwave, Akustik, dan Photonic dari BRIN, mengutip detikInet.
Namun, menurut dia, yang lebih penting bukan sekadar frekuensinya, melainkan kekuatan suara yang diukur dalam satuan desibel. Di sinilah bahaya mulai muncul.
![]() |
Secara umum, telinga manusia masih bisa mentoleransi suara hingga 80 dB. Namun, paparan berkepanjangan di atas ambang ini bisa menyebabkan gangguan pendengaran kronis.
Bahkan, suara sekitar 90-100 dB seperti lalu lintas padat atau gergaji mesin, jika didengar terus-menerus tanpa pelindung, bisa menyebabkan gangguan pendengaran secara perlahan.
Suara di atas 120 dB sudah mulai menyakitkan bagi telinga. Sedangkan kebisingan melebihi 140 dB yang sejajar dengan suara ledakan dapat merusak gendang telinga secara langsung, menyebabkan apa yang disebut trauma akustik.
Trauma akustik merupakan cedera berkelanjutan pada gendang telinga akibat suara yang sangat keras. Kerusakan ini bisa bersifat sementara, namun juga bisa permanen jika struktur dalam telinga telah terganggu.
"Yang menentukan suara itu nyaman atau tidak nyaman, bahaya atau tidak bahaya adalah kekuatannya atau desibelnya," lanjut Hana.
Sebuah studi dari Universitas Sam Ratulangi Manado menemukan bahwa paparan suara seperti pada sound horeg, yang diklaim bisa melampaui 135 dB, menempatkan pendengaran dalam zona merah.
Suara sekeras ini bisa menyebabkan kerusakan akut, mulai dari tinnitus (dengung berkepanjangan), penurunan sensitivitas pendengaran, hingga kehilangan pendengaran permanen.
(tis/asr)