Smiling depression bisa tampak samar. Namun ada sejumlah ciri yang patut diwaspadai, apalagi jika muncul secara terus-menerus.
Dari luar, seseorang terlihat bahagia, aktif, bahkan menghibur orang lain. Namun saat sendiri, mereka merasa hampa dan tidak punya energi emosional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka bisa menyelesaikan pekerjaan, mengikuti rutinitas, dan menjalani hari-hari seperti biasa, tapi kehilangan rasa antusias atau makna dari apa yang dilakukan.
Ada perasaan bersalah jika merasa sedih, karena menganggap dirinya seharusnya bersyukur. Ini membuat mereka enggan mencari bantuan atau bahkan tidak mengakui kondisi dirinya sendiri.
Mereka jarang menunjukkan perasaan kecewa, marah, atau sedih. Semua emosi ditahan dan dikemas dalam senyum yang sopan dan perilaku yang tampak 'baik-baik saja'.
Meski secara fisik tidak terlalu aktif, ada rasa lelah yang berkepanjangan. Energi terkuras hanya untuk 'berpura-pura normal' sepanjang hari.
Mereka membandingkan diri dengan orang lain yang dianggap punya masalah lebih besar, lalu memutuskan untuk diam dan menanggung sendiri bebannya.
Arnold menekankan pentingnya menciptakan ruang aman untuk berbicara soal emosi, baik di lingkungan keluarga, pertemanan, maupun tempat kerja. Dengan begitu, seseorang merasa lebih leluasa untuk mengungkapkan kondisi emosinya.
"Normalisasi percakapan tentang perasaan adalah langkah awal. Sekedar bertanya dengan empati seperti, 'Anda benar-benar baik-baik saja?' bisa membuka ruang bagi orang lain untuk jujur," ujarnya.
Ia juga mendorong masyarakat untuk tidak ragu mendukung teman atau kerabat yang membutuhkan bantuan profesional. Menurutnya, mencari bantuan psikolog atau konselor adalah bentuk keberanian, bukan kelemahan.
"Meminta pertolongan adalah langkah penting untuk menjaga diri dan orang-orang terdekat tetap sehat secara mental," tutup Arnold.
(tis/asr)