Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan soal maskulinitas telah bergeser dari sosok pria tangguh dan pendiam ke figur yang lebih terbuka secara emosional, rapi, dan tampak 'sadar penampilan'.
Di balik perubahan tersebut, muncul istilah anyar yang patut diperhatikan: performative male. Dalam beberapa waktu ke belakang, istilah ini menjadi obrolan menarik di media sosial.
Di Jakarta pada akhir pekan lalu bahkan ada kompetisi khusus performative male. Dalam kompetisi itu, beberapa peserta pria adu kebolehan untuk dinobatkan sebagai Most Performative Male.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Siapa sebenarnya performative male itu?
Ia bukan pria yang duduk berjam-jam di kursi gaming dengan kaus kusam dan celana cargo atau bergaya bak petualang yang hobi mendaki gunung. Ia adalah pria yang membawa tote bag, menyeruput matcha latte, membaca buku bertopik perempuan karya Virginia Woolf atau Simone de Beauvoir. Ia bahkan fasih berbicara soal zodiak yang biasanya jadi kegandrungan kaum hawa.
Ia terlihat modern, sadar kesehatan mental, dan tampaknya telah menanggalkan sifat maskulinitas toksik yang langgeng selama berabad-abad.
Menukil Stuff, istilah performative male merujuk pada sosok pria progresif yang terlihat sadar emosional dan lebih lembut, namun hanya di permukaan.
Ia mungkin berbicara soal kesehatan mental, membaca buku feminis, dan memutar lagu-lagu Sofia Isela. Tapi, semua itu dilakukan bukan untuk tumbuh secara pribadi, melainkan agar tampak menarik dan bisa diterima oleh perempuan modern.
![]() |
Pada dasarnya, konsep ini menjadi positif karena mengubah pola pikir lama yang cenderung kolot. Tapi, sering kali pria seperti ini justru hanya fokus pada tampilan luar, alih-alih meresapi pola pikir perempuan lebih dalam.
Di balik kesan lembut dan terbuka, ada dorongan yang kuat akan kontrol, validasi, dan status yang diharapkan oleh para performative male. Hanya saja, hal ini jadi menarik karena dibungkus dalam bentuk penampilan yang lebih estetik dan enak dipandang.
Namun, penting untuk ditegaskan, tak ada yang salah dengan pria-pria semacam itu. Hal ini bahkan dianggap sebagai salah satu bukti dari pola pikir yang terus terbuka dan berkembang. Yang jadi masalah adalah ketika semua hal tersebut hanya digunakan sebagai alat manipulasi.
Performative male sering kali menarik perhatian karena sifat lembut dan pikirannya yang terbuka, tetapi tidak cukup dalam untuk membangun koneksi nyata. Ia akan bicara tentang luka batin, tetapi menghindar saat diminta bertanggung jawab.
Ketika dikritik, ia mungkin mengeluarkan narasi sebagai korban, bukan pelaku.
Dengan kata lain, ia tidak hadir untuk menciptakan hubungan yang sehat. Ia hadir untuk dipersepsikan sebagai pria yang sehat secara emosional.
Lihat Juga : |
Merangkum berbagai sumber, fenomena performative male bukan muncul begitu saja. Media sosial, dengan segala tuntutan pencitraan, telah menciptakan ruang di mana self-awareness menjadi konten, bukan proses pribadi.
Unggahan soal 'healing', aesthetic carousels tentang introspeksi diri, dan kutipan motivasi dari buku-buku populer telah menjadi mata uang sosial di era digital.
Menurut Esquire, istilah performative male mulai mencuat dari platform seperti TikTok dan Instagram. Pria Gen Z, terutama yang berusia 20-an, mulai mempresentasikan diri sebagai pribadi artsy dan dewasa secara emosional di depan umum.
Kata kuncinya: di depan umum.
![]() |
Sayangnya, di balik semua itu, yang sering terjadi hanyalah keinginan untuk mendapatkan perhatian dan validasi, bukan karena keyakinan atas nilai-nilai tersebut.
Namun, perlu dipahami juga bahwa menjadi pria emosional, penuh empati, dan nyaman dengan sisi feminimnya adalah langkah positif.
Hanya saja, sering kali atau dalam beberapa kasus, performative male hanya memainkan peran, misalnya sebagai pria yang penuh empati. Tapi, tidak benar-benar hidup dalam nilai-nilai tersebut.
Ia adalah produk dari budaya yang mendorong laki-laki untuk menjadi sensitif, tetapi dalam batas yang tetap nyaman bagi ego mereka.
(tis/asr)