Istilah 'performative male' tengah jadi buah bibir. Bukan asal gaya-gayaan, pria yang memilih menjadi performative male mengaku hanya ingin menjadi diri sendiri.
Istilah ini menggambarkan pria yang tampil catchy, jauh dari kesan urakan. Alih-alih aktivitas yang memacu adrenalin, mereka lebih suka membaca buku dengan santai. Tak jarang buku-buku yang dibaca pun terkait dengan topik perempuan.
Kesan 'keras' juga cukup jauh dari performative male. Alih-alih begitu, mereka tampil dengan gestur lebih lembut dan emosional yang lebih sensitif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak ada yang salah menjadi performative male. Sayangnya, utamanya di Indonesia, istilah ini terkesan negatif karena hanya dianggap sebagai medium validasi sosial semata.
Naufal (25), seorang pegawai swasta, tak sepakat kalau menjadi seorang performative male hanya dilakukan untuk validasi sosial.
"Aku suka gaya begini [berdandan rapi]," ujar Naufal saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (6/8). Ia mengaku selalu tampil rapi sejak masih duduk di bangku kuliah.
Baginya, penampilan bukan semata perkara gaya atau tren fesyen, tapi bagian dari cara menghargai diri sendiri.
Naufal juga mengaku tumbuh dengan kebiasaan membaca buku. Karya-karya penulis seperti Ayu Utami dan Goenawan Mohamad selalu mengisi hari-harinya.
Dari bacaan-bacaan itu, ia menyerap nilai-nilai yang membuka pikirannya. Ia mulai nyaman dengan gaya bicara yang lembut, cara berpakaian yang tidak terlalu kaku, dan sudut pandang yang lebih empatik.
"Aku sendiri enggak terlalu ngerti konsep performative male. Aku bergaya seperti ini karena memang suka saja dan merasa cocok. Orang mau setuju atau enggak, itu hak mereka," tambah Naufal.
Toh, menurut Naufal, menjadi pria tak harus keras, garang, atau tampil dengan otot menonjol. Ia hanya ingin merasa nyaman dan bisa mengekspresikan dirinya secara utuh.
![]() |
Hal serupa juga diungkapkan oleh Indra Jaya (22). Ia mengaku suka tampil rapi dan catchy.
"[Tampil rapi bikin] terlihat lebih enak dilihat, lebih bersih juga," ujar dia. Gaya rapi Indra diakuinya terinspirasi dari budaya Korea Selatan.
Menurutnya, definisi maskulinitas sudah harus berubah, apalagi di zaman sekarang saat pola pikir kebanyakan orang sudah berkembang.
"Kan, enggak bisa nilai laki-laki cuma dari suara berat dan otot besar. Justru, laki-laki yang bisa mengerti perempuan, peka terhadap situasi itu yang sebenarnya keren," tambah dia.
Konstruksi sosial di kepala sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap pria dengan sisi feminin sebagai sosok yang lemah. Namun, bagi Dito (32), kelembutan dan perhatian terhadap detail tak menjadikan seorang pria lemah, selama ia masih tahu tanggung jawabnya.
"Pria itu dinilai dari cara bersikap dan tanggung jawab atas perbuatannya, bukan dari ototnya yang besar atau yang suka gelut [berkelahi], ya," ujar Dito.
Lihat Juga : |
Sama seperti lainnya, Dito juga hanya merasa nyaman dengan berdandan rapi. Dandanan seperti yang sekarang diidentikkan dengan performative male itu justru telah diterapkannya sejak lama.
Dito juga punya salah satu 'ciri' performative male lainnya, yakni membaca karya-karya sastra klasik seperti Jane Eyre karya Charlotte Bronte dan Malvina G Vogel dan Pride and Prejudice karya Jane Austen.
Dito tak keberatan jika gaya dan pola pikirnya kini disebut masuk kategori performative male.
Menurutnya, menjadi pria bukan berarti harus selalu keras dan mendominasi. Dito lebih senang menjadi pribadi yang tenang, tidak meledak-ledak, dan jauh dari keribetan.
"Tapi tetap, buat aku, laki-laki yang sejati itu yang bisa bertanggung jawab dan punya komitmen," katanya.
(tis/asr)