Setiap desainer di Dior selalu membawa sesuatu yang 'baru' sejak lahirnya 'New Look' tahun 1947. Marc Bohan, Gianfranci Ferre, John Galliano, Raf Simons, dan Maria Grazia Chiuri.
Mereka yang berharap sesuatu yang mirip dengan para pendahulu Jonathan jelas tak pernah belajar, bahwa kebaruan dan perbedaan itulah yang membuat Dior menarik, mengingat besarnya arsip yang mereka miliki.
Lihat Juga :![]() Laporan dari Paris Mahakarya Terakhir Kim Jones untuk Dior Men |
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dior selalu berubah, namun tetap dalam orbit rumah mode dengan sejarah paling berpengaruh di abad 20. Jonathan tidak meniru, ia justru menabrak pola, mengawinkan glamor besar dengan busana komersial, eksperimental dengan massal.
Pertunjukan ini juga merefleksikan pertarungan lebih luas dalam industri mode. Banyak label besar kini dicap monoton, misalnya tampilnya logo besar, tas yang tampak serupa, hingga sepatu yang diproduksi massal.
Di sisi lain, ada rumah mode seperti Alaïa atau Sciaparelli yang justru memilih jalur kecil, intim, dan eksklusif.
![]() |
Jonathan menolak keduanya. Ia memilih jalan 'besar' sekaligus populer, dengan ambisi Warholian: membawa mode kembali ke pusat budaya populer.
Apakah pendekatan besar-besaran ini berhasil? Waktu yang akan menjawab.
Tapi, jelas bahwa Jonathan tidak sekadar menampilkan busana untuk 20 menit pertunjukan, lalu hanya terlihat apik di Instagram. Ia ingin menciptakan sesuatu yang bisa dimengerti, dan dipakai lebih banyak orang.
Dengan Dior, Jonathan punya salah satu atelier terbaik di dunia. Ia bisa mendorong material, teknik, dan ide lebih jauh.
Debut ini adalah kombinasi antara eksperimen artistik, strategi komersial, dan pernyataan filosofi mode, bahwa 'besar' bisa juga bermakna.
Pertanyaan akhirnya: apakah fesyen bisa memiliki arti bagi semua orang? Jonathan tampaknya yakin. Dan debutnya di Dior menunjukkan, ia siap menguji kemungkinan itu.
(asr/asr)