Kehamilan sering digambarkan sebagai masa paling membahagiakan dalam hidup seorang perempuan. Namun, di balik senyum dan perut yang membuncit, banyak ibu hamil justru berjuang melawan gejolak emosi yang rumit.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, dari 101.338 ibu hamil dan ibu nifas yang mengikuti skrining kejiwaan hingga 6 Oktober 2025, sebanyak 8,5 persen atau sekitar 9.280 orang menunjukkan gejala depresi.
Peneliti dan Pakar Kedokteran Komunitas, Ray Wagiu Basrowi mengatakan depresi pada ibu hamil merupakan hasil dari kombinasi kompleks antara faktor biologis, psikologis, dan sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara biologis, seluruh ibu hamil pasti mengalami perubahan hormon dan kelelahan yang bisa memicu gangguan mood," ujar Ray saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (9/10).
Namun, bukan hanya perubahan tubuh yang berperan. Dari sisi psikologis, banyak ibu hamil mengalami kecemasan terkait proses persalinan, tekanan ekonomi, dan kurangnya dukungan dari pasangan.
Bahkan, kata Ray hasil kajian kami di Health Collaborative Center selama 2021-2022 menunjukkan bahwa kecemasan dan stres pada ibu hamil meningkat signifikan selama pandemi.
Dari sisi sosial, stigma terhadap kesehatan mental dan minimnya layanan psikologis di fasilitas kesehatan juga membuat banyak ibu hamil enggan mencari bantuan.
"Padahal, itu menjadi faktor risiko signifikan yang bisa memicu depresi," kata Ray.
Tak hanya itu, Ray juga menuturkan risiko atau gejala depresi lebih tinggi pada mereka yang mengalami anemia atau kurang mendapat dukungan dari keluarga.
"Kita tahu angka anemia pada ibu hamil di Indonesia cukup tinggi. Padahal, kekurangan zat besi dapat memengaruhi fungsi otak dan kestabilan emosi," jelas Ray.
Jika tidak ditangani, depresi pada ibu hamil bisa berdampak serius. Risiko komplikasi kehamilan meningkat, bayi berpotensi lahir prematur, dan perkembangan anak bisa terganggu.
Karena itu, Ray menekankan pentingnya memasukkan skrining kesehatan jiwa dalam pemeriksaan rutin kehamilan.
Lingkungan sekitar berperan besar
Faktor lingkungan, terutama dukungan sosial, sangat menentukan kondisi mental ibu hamil dan ibu baru. Penelitian Health Collaborative Center pada 2021 menemukan 6 dari 10 ibu menyusui merasa tidak bahagia karena suami terlalu sibuk, keluarga tidak membantu, atau komentar orang justru menambah stres.
"Padahal, dukungan sosial yang kuat bisa menurunkan risiko depresi hingga 40-60 persen," ungkap Ray.
Menurutnya, bentuk dukungan tidak selalu berupa nasihat. Justru yang lebih penting adalah empati dan kehadiran nyata.
Misalnya, suami dan keluarga perlu hadir secara emosional, bukan hanya finansial. Sesederhana menemani kontrol kehamilan atau menjaga bayi agar ibu bisa tidur dua jam saja, itu sudah sangat membantu.
Ray menegaskan, kunci utama pencegahan depresi pada ibu hamil juga bukanlah obat mahal, melainkan empati dan dukungan nyata dari lingkungan sekitar.
"Kadang yang dibutuhkan ibu bukan solusi, tapi seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi," pungkasnya.
(tis/tis)