Tren kidulting, atau kebiasaan orang dewasa membeli mainan anak-anak, tengah meningkat. Dari figur Iron Man, Gundam, LEGO, hingga mobil diecast, koleksi itu kini tidak hanya disimpan, tapi juga dipajang dengan bangga.
Menariknya, fenomena ini justru lebih banyak dilakukan oleh pria dibanding wanita. Tapi kenapa pria lebih senang mengoleksi mainan yang lazimnya dibeli anak-anak?
Psikolog klinis dari Tabula Rasa, Arnold Lukito mengatakan, kebiasaan pria dewasa mengoleksi mainan bukan semata bentuk nostalgia masa kecil. Di balik rak penuh figur aksi dan miniatur itu, ada kebutuhan psikologis mendalam yang berkaitan dengan cara pria memaknai kontrol, ekspresi emosi, dan cara mereka menghadapi stres.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata dia, secara sosial, pria sejak kecil dibesarkan dengan nilai bahwa harga diri mereka diukur dari kemampuan mengendalikan sesuatu dan mencapai hasil nyata. Namun, di dunia kerja dan kehidupan dewasa yang penuh tekanan, banyak hal justru terasa sulit dikendalikan.
"Mengoleksi mainan secara tidak langsung memberi mereka [pria] rasa 'mastery' yang konkret. Pria bisa memilih, merakit, menata, dan menyelesaikan sesuatu dengan hasil yang terlihat," kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui telepon, Senin (13/10).
Dengan kata lain, aktivitas seperti merakit LEGO atau menata koleksi action figure memberi sensasi keberhasilan dan kendali yang mungkin tak selalu bisa dirasakan dalam kehidupan profesional atau pribadi.
"Secara neurologis, ini memicu dopamin, zat kimia otak yang memberi sensasi 'reward' mirip seperti menyelesaikan proyek kerja besar, tapi dalam bentuk kecil yang aman," ujarnya.
Selain itu, budaya di Indonesia masih kerap membatasi pria untuk mengekspresikan sisi emosional yang lembut. Menangis, menunjukkan kerentanan, atau mengakui stres sering kali dianggap tidak maskulin.
"Mengoleksi mainan jadi jalur aman bagi pria untuk mengekspresikan emosi tanpa dianggap lemah. Mainan masa kecil memunculkan perasaan hangat dan nostalgia, tapi tetap dalam bentuk yang secara sosial dianggap 'maskulin'. Misalnya, pria lebih wajar memajang figur Iron Man ketimbang memeluk boneka beruang, padahal fungsi emosionalnya sama, memberi rasa nyaman," jelas Arnold.
Tapi hal ini tentu tak terbatas hanya di soal sisi emosional pria. Nyatanya, alasan lain kenapa lebih banyak pria daripada wanita yang mengoleksi mainan ketika sudah dewasa adalah cara mereka memenuhi keinginan batiniah atau bisa disebut dengan coping.
Perbedaan ini tampak dari cara pria dan wanita menghadapi tekanan. Arnold menyebut, wanita umumnya menyalurkan stres lewat komunikasi dan hubungan sosial, sedangkan pria lebih cenderung lewat aktivitas dan objek.
"Pria biasanya coping lewat fixing, building, atau collecting, bukan talking. Dengan mainan, mereka bisa menyalurkan stres secara aktif, entah dengan merakit, memperbaiki, atau menyusun. Semua itu memberi sensasi kontrol tanpa harus membuka emosi secara verbal," tuturnya.
Bagi sebagian orang, rak penuh mainan mungkin terlihat seperti sisa masa kecil yang tak usai. Tapi bagi banyak pria dewasa, kidulting justru menjadi cara untuk tetap waras di dunia yang menuntut mereka untuk selalu kuat dan rasional.
Lewat figur aksi atau set LEGO yang rumit, mereka menemukan ruang aman untuk beristirahat dari tekanan, menata ulang kendali, dan menyalurkan emosi dengan cara yang mereka pahami.
"Karena menjadi dewasa tak berarti harus meninggalkan semua hal yang dulu membuat bahagia. Mungkin, justru lewat mainan itulah, para pria belajar bagaimana bertahan dengan cara yang sederhana, tapi bermakna," kata Arnold.
(tis/tis)