Berapa banyak lagi anak harus kehilangan nyawa karena cacingan sebelum kita menganggap sanitasi sebagai urusan serius?
Di tahun 2025, kematian seorang anak akibat cacingan seharusnya tidak perlu terjadi. Namun, kisah pilu Raya dari Sukabumi membuktikan bahwa sanitasi di Indonesia masih jauh dari aman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tubuh kecilnya dipenuhi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) yang telah merambat hingga paru-paru dan otak-sebuah tragedi yang tak seharusnya terjadi di era modern ini.
Pada 15 Oktober 2025 lalu, kita memperingati Hari Cuci Tangan Sedunia. Kisah Raya seharusnya menjadi sebuah momentum penting sebagai pengingat keras bahwa kebersihan dan sanitasi bukan sekadar imbauan kesehatan, melainkan benteng terakhir bagi hidup manusia.
Penyakit yang ditularkan melalui jalur fecal-oral tidak bisa hanya bergantung pada imbauan, tetapi harus menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari, di mana tangan berperan sebagai jembatan utama bagi parasit masuk ke tubuh manusia.
Sekitar 1,5 miliar orang di dunia atau 24 persen dari populasi global, masih terinfeksi cacing usus (Soil-Transmitted Helminths/STH) yang terdiri dari cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale/Necator americanus) (WHO, 2016).
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (2023) mencatat 26 kabupaten/kota memiliki prevalensi kecacingan di atas 10 persen. Kondisi ini dipengaruhi oleh iklim tropis dengan curah hujan tinggi yang membuat telur cacing mudah berkembang, serta sanitasi yang belum memadai di banyak daerah.
Salah satu jenis yang paling banyak menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), parasit yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di usus manusia, sebagaimana yang ditemukan pada tubuh Raya.
Telur cacing gelang keluar bersama tinja manusia yang terinfeksi, mencemari tanah, lalu masuk kembali ke tubuh manusia lain melalui tangan, makanan, atau air yang tidak bersih.
Karena itu, tinja manusia merupakan sumber utama penularan penyakit ini. Dan tangan, menjadi medium penularan yang patut diwaspadai. Hal ini membuat kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS) dan masih banyaknya orang yang abai akan kebersihan tangannya sebagai faktor risiko terbesar dalam penyebaran infeksi.
![]() |
Apa yang terjadi pada Raya setidaknya mencerminkan kondisi sanitasi di Indonesia yang masih menghadapi tantangan besar. Faktanya, kebiasaan mencuci tangan tampaknya masih dianggap sepele oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, sebanyak 80,15 persen rumah tangga di Indonesia memiliki fasilitas cuci tangan dengan sabun dan air bersih. Artinya, masih ada sekitar 20 persen rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas layak untuk mencuci tangan.
Sayangnya, kepemilikan fasilitas yang bersih itu tidak dibarengi dengan kesadaran untuk mencuci tangan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, hanya sekitar 49,8 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang memiliki kesadaran untuk mencuci tangan.
Masa pandemi Covid-19 boleh jadi momen paling mengerikan. Tapi, dalam hal ini, setidaknya kita perlu berterima kasih pada Covid-19. Angka kesadaran mencuci tangan meningkat menjadi 60 persen pasca-pandemi.
Angka tersebut sebenarnya tak bisa juga dibilang baik, karena masih ada hampir setengah penduduk Indonesia yang tak sadar pentingnya mencuci tangan. Jangan jauh-jauh ke pelosok Sukabumi, tingkat kesadaran mencuci tangan di kota besar seperti Jakarta saja masih berada di angka 54,8 persen.
Padahal, mencuci tangan pakai sabun dan air adalah cara dasar yang paling efektif untuk mencegah penyebaran penyakit. Tingkat keberhasilannya bahkan mencapai 85 persen. Apa susahnya meluangkan waktu sebentar untuk mencuci tangan?
Itu baru menyoal kebiasaan mencuci tangan. Belum lagi bicara soal praktik buang air besar sembarangan (BABS) yang masih terjadi di sejumlah wilayah.
Betapa penyakit seperti kecacingan masih terus menghantui masyarakat Indonesia. Perlu diingat, Ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing yang hanya bisa hidup di usus manusia. Tinja jadi jalur penularan utama penyakit kecacingan.
Data Bappenas (2024) setidaknya mencatat, baru sekitar 10,25 persen rumah tangga yang memiliki akses sanitasi aman. Sebanyak 82,36 persen rumah tangga sudah memiliki sanitasi layak.
Artinya, sebagian besar masyarakat memang telah memiliki jamban, tetapi pengelolaan limbah tinjanya masih belum memenuhi standar aman. Banyak tangki septik tidak kedap, tidak pernah disedot, hingga limbah akhirnya mencemari tanah maupun sumber air.
Pemerintah menargetkan peningkatan akses sanitasi aman menjadi 30 persen pada tahun 2030, sekaligus menurunkan angka BABS dari sekitar 3,2 persen (2024) menjadi 0 persen pada 2030.
Hanya saja, tantangan lapangan masih nyata. Praktik BABS masih ditemukan bahkan di beberapa provinsi yang telah mendeklarasikan diri Open Defecation Free (ODF), seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD).
Fenomena ini dikenal sebagai slippage, ketika status ODF tidak diikuti dengan perubahan perilaku yang berkelanjutan.
Ketimpangan antar-wilayah jadi salah satu pasalnya. Akses sanitasi aman di perkotaan umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan.
Di tempat saya berkegiatan saat ini, Lampung, sebagian besar masyarakat masih menggunakan jamban cemplung. Tak sedikit juga yang masih berbagi jamban dengan tetangga. Lebih parah lagi, sebagian masyarakat akhirnya terpaksa buang air besar sembarangan di sungai atau selokan lantaran sulitnya fasilitas.
Situasi di atas setidaknya menggambarkan bahwa sanitasi tak cuma soal infrastruktur, tapi juga soal perubahan perilaku dan pendampingan jangka panjang.
Jika begini, bukan tak mungkin kalau penyakit seperti kecacingan masih terus mengintai. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mencatat, 15 persen kasus stunting disebabkan oleh diare pada anak yang berkaitan dengan rendahnya kualitas air dan sanitasi.
Sebuah penelitian juga pernah menemukan, sanitasi dan kebiasaan mencuci tangan merupakan faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap malnutrisi balita di Indonesia. Angkanya bahkan lebih besar daripada faktor pangan atau ekonomi. Infeksi berulang akibat lingkungan yang tidak sehat membuat asupan gizi dari makanan tidak terserap optimal.
![]() |
Sanitasi yang aman dan berkeadilan harus memastikan setiap orang, terutama mereka yang tinggal di daerah miskin dan terpencil. Tanpa pengelolaan tinja yang benar dan kesadaran untuk menjalan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), ancaman penyakit seperti cacingan, diare, dan stunting akan tetap menghantui anak-anak Indonesia.
Hentikan kebiasaan buang air besar sembarangan serta pastikan tangki septik yang layak dan aman untuk mencegah pencemaran tanah oleh telur cacing. Jangan lupa juga untuk menjadikan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun dan air sebagai benteng pertahanan terakhir dan termurah demi mencegah infeksi.
Sudah saatnya sanitasi dan kebersihan tangan menjadi sebuah gaya hidup, bukan sekedar imbauan. Kisah balita Raya menjadi pengingat bahwa sanitasi dan kebersihan tangan bukanlah urusan kebersihan, tapi investasi nyawa.
(asr)