Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat menjadi sorotan setelah kasus tragis menimpa seorang balita bernama Raya (4) yang meninggal karena cacingan.
Raya dan orang tuanya tinggal di Kampung Pandangeyan, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Syamsudin, Kota Sukabumi, menjelaskan Raya dibawa ke instalasi gawat darurat (IGD) RSUD Syamsudin pada 13 Juli 2025 sekitar pukul 20.00 WIB dalam kondisi sudah tidak sadarkan diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama masa observasi, dokter menemukan cacing keluar dari hidung Raya. Dokter menarik cacing gelang sepanjang 15 sentimeter ini dalam keadaan masih hidup. Cacing juga keluar dari mulut, kemaluan, hingga anus Raya.
Raya kemudian dirujuk ke ruang PICU untuk perawatan intensif dan didiagnosis askariasis, penyakit akibat infeksi cacing gelang.
"Infeksi bisa terjadi ketika telur cacing tertelan, baik melalui makanan, minuman, maupun tangan yang kotor. Telur akan menetas di usus, lalu berkembang jadi larva yang bisa menyebar lewat aliran darah ke organ, bahkan otak," kata Humas RSUD Syamsudin, Irfanugraha Triputra, Selasa (19/8), dikutip dari detikJabar.
Lebih dari satu kilogram cacing hidup berhasil dikeluarkan dari tubuhnya sebelum ia meninggal dunia.
Peristiwa ini mengguncang publik dan sekaligus membuka kembali realitas getir tentang tingkat kemiskinan di wilayah tersebut.
Dilansir laman resmi Kabupaten Sukabumi, luas wilayah kabupaten ini mencapai 4.145 km², yang terdiri dari 47 Kecamatan, 381 Desa dan 5 Kelurahan.
Ibu kotanya berada Kecamatan Palabuhanratu. Jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi pada 2022 tercatat mencapai 2,8 juta jiwa lebih.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan di Kabupaten Sukabumi masih menjadi persoalan yang perlu mendapat perhatian serius.
Pada 2020, jumlah penduduk miskin di Sukabumi tercatat 175,10 ribu jiwa atau 7,09 persen dari total populasi, dengan garis kemiskinan berada di angka Rp328.284 per kapita per bulan.
Kemudian pada 2021, jumlah penduduk miskin melonjak menjadi 194,40 ribu jiwa atau 7,70 persen.
Kondisi ini mencerminkan dampak pandemi Covid-19 yang menekan daya beli masyarakat dan memperlebar kesenjangan antarpenduduk miskin. Garis kemiskinan juga naik menjadi Rp342.094, menandakan kebutuhan biaya hidup ikut meningkat.
Indeks kedalaman (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) pun naik cukup tajam, menunjukkan bahwa bukan hanya lebih banyak orang yang jatuh miskin, tetapi juga kesenjangan pengeluaran di bawah garis kemiskinan semakin melebar.
Namun, pada 2022 jumlah penduduk miskin turun menjadi 186,30 ribu jiwa atau 7,34 persen.
Garis kemiskinan meningkat lagi ke Rp357.636. Indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga menurun dibanding 2021, menandakan kualitas kemiskinan agak lebih ringan meski jumlah orang miskin masih tinggi.
Pada 2023, jumlah penduduk miskin turun ke 178,70 ribu jiwa (7,01 persen). Akan tetapi, meskipun jumlah dan persentasenya turun, indeks kedalaman kemiskinan (1,01) kembali naik.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian kelompok miskin masih dalam kondisi yang cukup sulit, meskipun secara kuantitas total penduduk miskin menurun. Garis kemiskinan pun naik signifikan ke Rp392.705 per kapita per bulan.
Lebih lanjut, pada 2024 jumlah penduduk miskin turun tipis ke 175,93 ribu jiwa atau 6,87 persen. Garis kemiskinan naik lagi menjadi Rp416.751, sejalan dengan kenaikan harga kebutuhan dasar.
Namun, indeks kedalaman (0,88) dan keparahan kemiskinan (0,20) menurun, yang berarti sebagian penduduk miskin berada lebih dekat ke garis kemiskinan, dan ketimpangan di antara mereka sedikit mengecil.
Secara keseluruhan, data ini memperlihatkan bahwa kemiskinan di Kabupaten Sukabumi dalam lima tahun terakhir cenderung menurun dari sisi jumlah maupun persentase. Meski begitu, kualitas hidup penduduk miskin masih rentan karena kedalaman dan keparahan kemiskinan belum turun secara konsisten.
Selain itu, faktor pengangguran juga menjadi pekerjaan rumah besar. Pada 2020, angka pengangguran berada di level 9,6 persen, kemudian pada 2021 menurun tipis menjadi 9,51 persen.
Penurunan signifikan mulai terlihat pada 2022, ketika TPT menurun menjadi 7,77 persen. Penurunan ini berlanjut pada 2023 dengan angka 7,32 persen.
Raya tinggal di Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan. Lokasinya berada di bawah Gunung Halimun.
Keluarga Raya sempat dibantu oleh kelompok relawan Rumah Teduh untuk mengurus bocah 4 tahun itu. Relawan ini yang membawa Raya ke RSUD Syamsudin di Kota Sukabumi pada 13 Juli lalu.
Relawan tersebut juga mengurus administrasi Raya yang disebut belum punya akta lahir, kartu identitas anak (KIA), hingga BPJS Kesehatan.
Pihak RSUD tak bisa langsung menerima Raya sebagai peserta BPJS. Pihak RSUD disebut memberi waktu 3x24 jam bagi relawan untuk mengurus administrasi kependudukan agar bisa memakai pembiayaan BPJS.
Tim relawan Rumah Teduh mendatangi satu per satu kantor pemerintahan, mulai dari kantor desa hingga dinas-dinas terkait. Mereka merasa tak mendapat kepastian dan dioper sana sini.
Tenggat pembuatan data kependudukan dari RSUD habis. Relawan tak mendapat akses dari pemerintah setempat untuk mengurus administrasi kependudukan dan BPJS.
Raya menjalani perawatan tanpa memakai BPJS. Ia tiba pada malam hari 13 Juli dengan kondisi tak sadarkan diri.
"Saat di IGD, tiba-tiba keluar cacing dari hidung pasien. Dari situ, kita mulai menduga ada kaitannya dengan infeksi cacing," ujar Irfan.
Setelah kondisinya sedikit stabil, Raya dirujuk ke ruang PICU untuk mendapat penanganan intensif anak.
Dari hasil pemeriksaan medis, diketahui infeksi yang menyerang tubuhnya adalah askariasis, penyakit akibat cacing gelang (Ascaris lumbricoides) yang umumnya hidup di tanah.
Gumpalan cacing juga keluar dari anus Raya. Beratnya diperkirakan mencapai 1 kg. Raya tetap mendapatkan perawatan, namun kesadarannya belum membaik.
Kondisinya yang sudah kritis sejak awal membuat obat cacing tak bekerja optimal. Raya meninggal dunia pada 22 Juli 2025 pukul 14.24 WIB
"Kalau penilaian saya pribadi sudah amat sangat terlambat dibawa ke rumah sakit. Obat yang kita berikan tidak bisa seefektif itu," kata Irfan.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi angkat bicara terkait kasus tersebut. Ia menegaskan akan memberikan sanksi kepada aparat Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi.
"Kepada Ketua Tim Penggerak PKK, Kepala Desa, Bidan Desa yang berada di daerah tersebut yaitu Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, untuk itu perhatian untuk semua dimungkinkan, saya akan memberikan sanksi bagi desa tersebut," kata Dedi dalam unggahan akun Instagram pribadinya, Rabu (20/8).
"Karena fungsi-fungsi pokok pergerakan PKK-nya tidak jalan, fungsi posyandu-nya tidak berjalan dan fungsi kebidanannya tidak berjalan," imbuhnya.
Sementara itu Bidan Desa, Cisri Maryati mengatakan Raya sering datang ke Posyandu untuk pemeriksaan kesehatan. Cisri menyebut Raya berstatus anak dengan BGM (bawah garis merah), istilah medis untuk kondisi gizi buruk.
Cisri mengklaim kondisi Raya terpantau Posyandu. Pemerintah desa juga memberikan bantuan gizi tambahan secara rutin, baik dari program reguler maupun dana desa.
Selain itu, Raya juga menerima Pemberian Makanan Tambahan (PTM) lokal untuk 60 hari.
"Jadi terpantau setiap harinya, berat badannya juga kita pantau. Udah ada kenaikan berat badannya waktu kemarin dapat PMT lokal," kata Cisri dikutip dari detik.com.
Cisri menyebut Raya juga tercatat sebagai penerima obat cacing rutin setiap enam bulan sekali dalam program kesehatan anak.
"Sebetulnya obat cacing kalau untuk Raya dan semua anak-anak itu dapat setiap 6 bulan sekali, setiap bulan Februari dan Agustus. Jadi untuk Raya juga terakhir dapat itu bulan Februari itu obat cacing," ujarnya.
Penyakit cacingan seharusnya bisa dicegah dengan sanitasi memadai, gizi cukup, dan akses kesehatan dasar. Namun, kemiskinan membuat hal itu sulit diwujudkan. Kasus Raya menunjukkan bahwa kemiskinan bukan sekadar soal pendapatan, melainkan juga soal akses kesehatan, gizi, dan kualitas hidup.
(fra/kay/fra)