Mengapa Pria Jadi Manja Seperti 'Bayi' saat Sakit?
Sudah jadi rahasia umum, pria akan bersikap lebih manja layaknya bayi saat sakit. Tapi, mengapa bisa begitu?
Setiap orang bisa sakit tanpa mengenal gender. Pria dan wanita sama-sama bisa sakit.
Tapi, respons sakit yang dialami pria dan wanita sering kali berbeda. Pria umumnya bersikap lebih manja saat sakit, seolah-olah tak ada lagi harapan untuk sembuh.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Talker Research terhadap lebih dari 900 perempuan yang tinggal dengan pasangannya di Amerika Serikat setidaknya menemukan hal tersebut. Satu dari tiga orang menggambarkan pasangan atau suami mereka layaknya bayi saat sakit.
Mengutip Newsweek, sebanyak 25 persen menganggap pasangannya sangat keras kepala saat sakit. Sementara 23 persen lainnya mengaku pasangannya sangat dramatis di kala sakit.
Anggapan bahwa pria kerap melebih-lebihkan gejala sakit muncul sejak lama. Hal ini bahkan memunculkan istilah slang 'man flu'.
Beberapa orang berasumsi bahwa pria membesar-besarkan apa yang mereka rasakan untuk mendapatkan perhatian pasangan. Sementara yang lain berpikir bahwa pria lebih lemah dari wanita dalam beberapa hal.
Hanya saja, kebiasaan sikap drama pria saat sakit tampaknya bisa dibuktikan secara ilmiah. Mengutip laman Cleveland Clinic, beberapa ahli percaya bahwa gejala pilek dan flu pada pria umumnya lebih parah daripada wanita.
Hal ini bermula dari sebuah ulasan yang diterbitkan dalam British Medical Journal pada 2017 lalu. Dalam studi itu, para peneliti percaya bahwa 'man flu' adalah nyata.
Penelitian itu bahkan dilakukan dalam studi laboratorium, studi historis, dan data epidemiologi. Peneliti juga mengutip adanya kesenjangan imunitas berbasis hormon antara pria dan wanita.
Data harapan hidup global juga secara konsisten menunjukkan data bahwa rata-rata perempuan hidup lebih lama dibanding pria.
Tapi, ahli kesehatan keluarga Charles Garven mengatakan, ulasan itu tak bisa ditelan mentah-mentah. Banyak kekurangan dalam ulasan tersebut.
"Jenis kelamin mungkin berperan dalam tingkat keparahan gejala. Namun, faktor-faktor lain juga berpengaruh, seperti usia, obat yang dikonsumsi, dan kondisi lainnya. Anda hanya dapat mengendalikan beberapa variabel saat menganalisis data," ujar dia.
'Man flu' mungkin merupakan fenomena biologis. Namun, kondisi biologi tak jadi satu-satunya faktor yang menentukan perasaan kita saat sakit.
"Norma budaya seputar kesehatan dan maskulinitas juga menyebabkan perbedaan kondisi medis akibat jenis kelamin," ujar Garven.
Menurut Garven, boleh jadi ekspektasi sosial terhadap pria yang dianggap kuatlah yang membuat mereka bersikap drama. Mereka merasa lebih sakit, merespons penyakit secara berbeda, atau menyembunyikan gejala tertentu.
Beberapa penelitian, lanjut Garven, juga menemukan bahwa pria dan wanita mengekspresikan ketidaknyamanan fisik secara berbeda. Pria lebih cenderung menarik napas dalam-dalam.
Yang jelas, Garven mengingatkan bahwa sains dan budaya akan selalu saling terkait satu sama lain.
(asr)