Turis Asing Pembeli Layanan Seks di Jepang Berpotensi Kena Sanksi
Pemerintah Jepang secara serius mempertimbangkan untuk menerapkan sanksi atau denda bagi pria yang membeli layanan seks di Negeri Sakura.
Langkah ini diambil pemerintah negara itu setelah media internasional baru-baru ini melabeli Jepang sebagai "destinasi wisata seks baru".
Isu ini diangkat oleh anggota parlemen independen, Rintaro Ogata, dalam sesi Komite Anggaran Majelis Rendah pada 11 November lalu.
Menurut laporan surat kabar Asahi Shimbun, Ogata secara langsung meminta Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi untuk mempertimbangkan hukuman bagi pelanggan layanan seks.
Menanggapi permintaan tersebut, PM Takaichi mengatakan telah meminta Menteri Kehakiman Hiroshi Hiraguchi untuk meninjau bagaimana undang-undang yang berlaku memperlakukan pembeli seks dan mempertimbangkan regulasi baru yang menargetkan pembelian layanan seks.
Perombakan UU Anti-Prostitusi 1956
Saat ini, Undang-Undang Anti-Prostitusi yang diberlakukan pada tahun 1956 hanya menghukum wanita yang menjajakan layanan seksual, tetapi tidak menghukum pria yang membayar untuk layanan tersebut.
Kekhawatiran terhadap citra internasional Jepang semakin menguat. Anggota parlemen Shioumura Fumika menyoroti laporan asing yang menggambarkan Jepang sebagai "negara wisata seks baru".
Seperti dikutip Chosun Biz, Fumika juga memperingatkan bahwa citra Jepang sebagai tempat yang gagal melindungi martabat perempuan menyebar secara internasional.
Kekhawatiran khusus tumbuh mengenai turis asing yang menjalankan kegiatan prostitusi perempuan Jepang di Tokyo, terutama di distrik Kabukicho, menurut laporan Sankei Shimbun.
Perlu dicatat bahwa berdasarkan hukum Jepang yang berlaku, prostitusi dilarang namun tidak dikriminalisasi secara penuh. Keputusan untuk meninjau hukuman bagi pembeli seks ini datang di tengah lonjakan pariwisata.
Jepang menyambut 31,65 juta pengunjung asing antara Januari dan September, naik 17,7 persen dari tahun ke tahun. Angka ini menandai laju tercepat bagi Jepang dalam melampaui 30 juta kedatangan asing, didorong oleh nilai tukar yen yang lemah, peningkatan koneksi penerbangan, dan kebijakan visa yang lebih santai.
(wiw)