Anemia defisiensi besi masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang kerap luput dari perhatian orang tua. Padahal, kondisi ini bisa muncul bukan hanya karena kurang makan makanan bergizi, tetapi juga akibat kebiasaan sederhana seperti terlalu sering minum teh atau makan cokelat yang ternyata dapat menghambat penyerapan zat besi.
Zat besi adalah komponen penting pembentuk hemoglobin, protein dalam sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Ketika jumlahnya rendah, tubuh anak tidak mendapatkan pasokan oksigen optimal.
Dampaknya perlahan muncul. Dampak itu mulai dari anak jadi tampak pucat, mudah lelah, kurang aktif, hingga pertumbuhan terhambat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter Spesialis Anak RS Bethesda Yogyakarta, Devie Kristiani mengatakan gejala anemia defisiensi besi kerap tidak disadari pada tahap awal.
"Anak mungkin tampak pucat, mudah lelah, atau lesu. Ada juga yang berat badannya sulit naik, pertumbuhannya terlambat, nafsu makan turun, bahkan muncul kebiasaan pica seperti makan tanah atau es batu," jelasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (27/11).
Devie menegaskan bahwa anemia defisiensi besi memiliki pengaruh langsung pada perkembangan otak dan kemampuan belajar anak.
"Studi menunjukkan anak dengan anemia defisiensi besi memiliki skor kognitif, psikomotor, dan konsentrasi yang lebih rendah. Ini memengaruhi kesiapan belajar dan prestasi akademik mereka," ujarnya.
Dia juga mengingatkan pentingnya pemenuhan zat besi sejak awal kehidupan, termasuk pada periode ASI eksklusif dan MPASI yang kaya zat besi.
Devie menyebut, kekurangan zat besi pada anak dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti:
• Asupan makanan rendah zat besi
• Penyerapan zat besi yang tidak optimal
• Kehilangan darah akibat infeksi kronis
• Risiko lebih tinggi pada bayi prematur atau anak dengan ibu yang mengalami anemia saat hamil
• Pemberian MPASI yang tidak memperhatikan kandungan zat besi
Namun, pola makan dan kebiasaan sehari-hari juga ikut berperan. Teh, kopi, dan cokelat mengandung tanin dan kafein yang dapat menghambat penyerapan zat besi di usus. Jika dikonsumsi bersamaan dengan waktu makan, efektivitas zat besi dari makanan bisa turun drastis.
"Sebaliknya, vitamin C terbukti dapat meningkatkan penyerapan zat besi hingga dua kali lipat. Susu pertumbuhan yang difortifikasi zat besi juga bisa membantu melengkapi kebutuhan harian," kata dia.
Medical & Scientific Affairs Director Sarihusada, Ray Wagiu Basrowi menyebut penelitian yang dilakukan pihaknya baru-baru ini menunjukan bahwa anak usia 1-3 tahun yang rutin mengonsumsi dua gelas susu pertumbuhan dengan kandungan IronC (kombinasi zat besi dan vitamin C), disertai pola makan seimbang, mencapai kecukupan zat besi sesuai angka kecukupan gizi (AKG).
"Deteksi dan intervensi dini menjadi kunci. Dengan nutrisi tepat, pemantauan rutin, dan edukasi berkelanjutan, kita bisa membantu anak-anak Indonesia tumbuh sehat dan mencapai potensi maksimal mereka," kata Ray.
Berikut beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan untuk mencegah anak terkena anemia defisiensi besi:
• Mengombinasikan makanan sumber zat besi dengan vitamin C (jeruk, stroberi, tomat).
• Memberikan suplemen zat besi sesuai anjuran tenaga kesehatan, terutama pada anak berisiko tinggi.
• Mengurangi konsumsi teh, kopi, dan cokelat bersamaan dengan waktu makan.
• Memastikan nutrisi harian anak seimbang, termasuk dukungan susu pertumbuhan yang difortifikasi zat besi.
• Melakukan konsultasi rutin untuk memantau kecukupan nutrisi.
(tis/tis)