Jakarta, CNN Indonesia -- Berbincang langsung dengan band Sore, ternyata jauh dari kesan serius dan 'extravaganza', seperti yang terdengar dari album-album mereka sebelumnya;
Centralismo (2006) dan
Ports of Lima (2008).
Kesempatan berbincang langsung datang saat band yang terbentuk pada 2002 ini menyempatkan diri mengunjungi kantor redaksi CNN Indonesia, Kamis (6/11). Mereka promosi mini album terbaru,
Los Skut Leboys yang diluncurkan Jumat (21/11).
Hanya tiga dari empat personel Sore--Ade Paloh, Bemby Gusti, dan Reza Dwiputranto--yang sempat berbincang. Satu lainnya, Awan Garnida yang berbadan tambun berhalangan hadir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak bisa keluar dari mobil," kata Ade sambil tertawa.
Wawancara berlalu setengah serius. Beberapa menit sekali, terus ada selingan canda. Namun dari situ, Sore tetap bisa bercerita serius soal mini albumnya.
Musik sederhanaAde Paloh menganalogikan,
Los Skut Leboys yang berisi empat lagu itu seperti ikan Paus Koteklema (Physeter macrocephalus). Ikan paus besar dan tua, sederhana, namun kuat dan terkesan bijaksana.
"Kami ini band tua, maksudnya beranggotakan orang tua semua, hehehe... Tapi tetep semangat berkarya, makanya saya ibaratkan seperti ikan Paus Koteklema," kata Ade.
Menciptakan musik dengan sederhana bukanlah keputusan Ade seorang. Bersama Bembi, Reza, dan Awan, ia sepakat 'menyederhanakan musik setelah bermegah-megahan dalam aransemen
Funk The Hole atau
Setengah Lima di album sebelumnya.
"Setelah sibuk bereksplorasi di album-album sebelumnya, di album ini kami ingin lebih '
to the point'," kata Ade. Saat membuat album itu, ia banyak mendengarkan band keluaran Sarah Records, seperti Interpol dan Beach House.
Terdengar lebih sederhana bukan berarti Sore, yang sempat satu tahun vakum karena kesibukan masing-masing, sedang 'menimbun' materi terbaik untuk album-album ke depan. Sore bahkan tak berekspektasi apapun soal karier.
Mereka hanya bermusik karena kecintaan dan hobi.
Kesederhanaan itu mereka pelajari dari The Beatles. "The Beatles pernah kembali membuat album yang sederhana. Kami membuat musik yang lebih sederhana agar tidak melupakan ciri khas bermusik kami," ujar Ade.
Sederhana yang unikKalimat 'sederhana' yang diucapkan Ade tampaknya memang harus ditulis dengan tanda kutip. Sebab, setelah mendengar lagu
There Goes, musik Sore tetap terasa rumit meski enak di kuping.
Semua lagu pun seperti punya keunikan masing-masing. "Lagu yang dibuat paling cepat berjudul
I Never Been in Wonderland. Itu hanya dibuat lima menit," tutur Ade.
Sedangkan lagu yang paling lama dibuat, ia melanjutkan, berjudul
Map Biru. "Itu dibuat sejak tahun 2002 dan hingga kemarin saya masih harus menyusun kembali nadanya," ujarnya sambil tertawa.
Sejak album pertama, band yang beranggotakan tiga pemain gitar bertangan kidal itu memang selalu membiarkan personelnya menyanyikan lagu yang diciptakan masing-masing.
Uniknya, tidak ada tuntutan untuk bisa bernyanyi dengan baik dan benar bagi personel Sore. Yang penting, mereka suka menyanyi.
"Jika ada yang mengatakan suara kami bagus, ya itu suatu keuntungan bagi kami," kata Bembi yang segera disambut gelak tawa Ade dan Reza.
Selain masing-masing boleh menyanyi, sesama personel juga suka bertukar alat musik.
"Di lagu
Pelesir, saya bermain drum sedangkan Bembi gantian bermain gitar. Oh iya, mulai di album ini Ade juga bermain terompet," ujar Reza, sang gitaris.
Rilis berbentuk kasetKeunikan tak hanya di proses produksi. Album
Le Skut Leboys juga akan dirilis dalam bentuk kaset dan tersedia sebanyak 500 kopi. Diterangkan Ade, itu termasuk salah satu strategi pemasaran.
"Menciptakan sesuatu yang langka merupakan salah satu pencapaian. Lagipula kami berani mengeluarkan kaset setelah mengetes pasar terlebih dahulu dengan merilis lagu di
flash disk dan
vinyl, yang ternyata
sold out hanya dalam hitungan jam," kata Ade tersenyum.
Manajemen Sore bahkan akan merilis ulang rilisan-rilisan fisik itu, karena tingginya permintaan.
Album
Centralismo dan
Ports of Lima dikatakan Ade dirilis lima ribu kopi. Dan saat ini, kedua album tersebut sudah tidak ada lagi di pasaran.
Padahal, album
Centralisimo ada yang dijual Rp 350 ribu sampai Rp 1 jutaan. Bembi bahkan tak punya rilisan fisiknya sendiri. "Habis dimintai oleh teman-teman," akunya.
Ade menambahkan, "Kabarnya sih gudang label rekamannya (Aksara Records) bocor, jadi rilisan yang masih tersisa sudah rusak."
Meski albumnya banyak dicari, penampilannya selalu ditunggu, performanya dipuji media dalam dan luar negeri, Sore tidak lantas jemawa. Mereka juga tak jengah.
"Kami menganggap segala pencapaian yang telah didapat adalah doa untuk kami, sehingga kami tidak merasa congkak dan tenggelam dalam kebosanan bermusik," kata Bembi menutup pembicaraan.