Jakarta, CNN Indonesia -- Pada akhir tahun lalu,
Javier, sebuah novel karya Jessica Huwae diluncurkan. Ini adalah kali kedua Jessica menerbitkan novel pada tahun 2014. Sebelumnya, dia sudah menerbitkan novel berjudul
Galila.
Rencananya, pada tahun 2015 ini, sang penulis bakal menerbitkan dua karya lainnya, satu berupa fiksi dan satu lagi adalah karya nonfiksi.
Jika disebut cukup produktif dalam dua tahun ini, nyatanya Jessica sudah menulis novel sejak tahun 2007.
Soulmate adalah sebuah novel tentang percintaan dari sudut pandang wanita muda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Ketika saya menulis
Soulmate lebih karena saya melihat banyak di antara wanita muda yang selalu menunggu Mr. Right tapi kok lucunya malah bertemu hanya dengan Mr. Right Now terus,” kata Jessica tertawa. Hingga kini novel
Soulmate masih dicetak ulang hingga dengan mudah bisa ditemukan di beberapa toko buku.
Ada jeda hampir tujuh tahun dari Jessica membuat
Soulmate hingga muncul novel kedua Galila. Meski di antara kedua novel itu, pada tahun 2013, dia sempat membuat kumpulan cerpen
Skenario Remang-remang (SRR).
“Saya kaget, waktu itu belum pasti apakah memang ingin menjadi penulis atau sekadar menorehkan nama di rak-rak toko buku,” katanya.
Ternyata selain disibukkan oleh tugasnya sebagai wartawan di beberapa media wanita dan gaya hidup, jeda panjang itu dipakai Jessica untuk merenung tentang makna menulis baginya pribadi.
Tapi setelah banyak merenung Jessica merasa menulis buatnya bukan untuk sekadar mencari nama. “Bagaimana saya berproses perenungan terhadap diri saya sendiri. Bahkan ketika saya menulis
Javier—novel terbaru saya— adalah hasil perenungan ketika saya sedang tidak menulis,” kata perempuan yang bersuamikan pria berdarah Jawa-Palembang ini tertawa.
Pada akhirnya, dia menganggap menulis novel bukan hanya menjadi sumber kebahagiaan tapi juga caranya merespon lingkungan sekitarnya.
“Seperti saat saya menulis SRR, ada yang bertanya mengapa dari
Soulmate yang
chicklit kok saya jadi berkesan
dark begitu, “ kata lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia ini. Jessica menjelaskan ketika menulis SRR, jiwanya lebih dipenuhi berbagai pertanyaan seputar kehidupan sosial di Indonesia.
Termasuk keterkejutannya melihat salah seorang temannya yang sama-sama sempat jadi demonstran pada era 1998, dengan bergulirnya waktu tertangkap menjadi pelaku korupsi. “Kok bisa ya, idealisme orang hanya sedalam saku celana, “ kata Jessica miris.
Menulis novel bukan pekerjaan santaiJessica, yang lahir di Jakarta 17 Juli 1979, ini sudah memutuskan untuk menjadi penulis sejak berusia sangat muda. Renjananya akan dunia menulis muncul saat dia sering membaca karena tak punya terlalu banyak kegiatan.
“Dua orang tua saya sibuk bekerja tapi mereka menyediakan banyak bacaan. Jadi saya suka membaca, termasuk majalah wanita punya mama.”
Tahun 2006, Jessica mulai menulis di
blog. “Tapi diam-diam, soalnya malu, belum pede juga,” katanya Jessica.
Saat itu, konsep novel
Soulmate sudah mulai terbentuk, hanya saja saat itu di perusahaan tempatnya bergabung masih ada kebijakan tak boleh menulis buku sehingga karya perdana ini masih dipendam sendiri.
Jessica kemudian bertemu dengan sahabatnya, penulis Syahmedi Dean, yang langsung menerbitkan karyanya. Dalam hitungan hari saja Dean langsung mempertemukan Jessica dengan editor yang menangangi novel karyanya yang duluan beredar.
Selepas vakum sejak peluncuran
Soulmate, Jessica membuat novel
Galila (2014) Jessica mencoba untuk menggali akar budayanya yang nyaris terlupakan. Ide buku
Galila didapat Jessica saat berkunjung ke kampung halaman ayah di Ambon justru ketika ayahnya telah tiada.
Jessica tak setuju dengan anggapan bahwa menjadi penulis bisa santai dan menunggu ilham atau suasana hati yang bagus untuk bekerja. Dia bahkan tidak suka menulis sembari diiringi musik, ”Karena biasanya saya malah jadi ikutan nyanyi,” kata Jessica tertawa.
“Pertanyaannya adalah kita menganggap menulis itu penting tidak? Kalau ya, kita pasti akan menyisihkan waktu dan upaya untuk melakukannya,” kata Jessica yang merasa beruntung bisa menulis di mana pun dalam kondisi apa pun.
Buat Jessica sendiri urusan menulis tak bisa ditawar lagi karena berurusan dengan soal waktu.
“Saya ingin membaca lebih cepat, menulis lebih cepat, karena saya tahu waktuku terbatas,” katanya. Pada saat bersamaan, ia melihat orang banyak yang meninggal.
Selama ini, dia merasa berjarak dengan kematian. Namun terutama saat memasuki 30 tahunan, banyak teman yang meninggal dengan berbagai sebab, baik kecelakaan atau penyakit yang tadinya tidak ada.
“Saya baru sadar, bahwa ternyata kita dan kematian itu jaraknya cuma beda satu kali napas saja,” katanya.
Saat ini, Jessica selain menulis buku karyanya sendiri juga tergabung dalam sebuah penerbitan mandiri bernama Arkea Publishing. Di bawah Arkea Publishing ini ada sebuah payung lagi yang bernama Nyonya Buku yang awalnya lebih banyak menerbitkan buku tentang perempuan.
Lewat Nyonya Buku ini kegiatan Kamis Literasi muncul. Ini adalah semacam upaya idealis dengan menghidupkan budaya diskusi, untuk mengkonter budaya media sosial yang orang bisa dengan mudah berkomentar tanpa berpikir dulu.