Seniman Indonesia Boyong Trokomod ke Venesia

Rahmi Suci Ramadhani | CNN Indonesia
Sabtu, 07 Feb 2015 13:58 WIB
Makhluk hibrida Trojan-Komodo, atau disebut dengan Trokomod itu serupa dengan kendaraan amfibi.
Heri Dono (CNN Indonesia/Rahmi Suci Ramadhani)
Jakarta, CNN Indonesia -- Benda metal berkarat dengan ukuran raksasa yang menggabungkan bentuk kuda troya (trojan horse) dan komodo, hewan purba langka asli Indonesia, akan mewakili Tanah Air di ajang Pameran Seni Rupa Internasional La Biennale ke-56 di Venesia.

Makhluk hibrida Trojan-Komodo, atau disebut dengan Trokomod itu serupa dengan kendaraan amfibi. Di kedua matanya ada ruang khusus untuk pilot. Sepintas Trokomod tampak kuno dan berumur, tetapi ia masih perkasa, bertenaga, dan mengancam.

Ia terlihat seperti telah mengarungi masa lalu dan hadir di masa kini. Trokomod juga tampak siap mengarungi masa depan. Tingginya mencapai hampir 4 meter dengan lebar sekitar 3 meter, sementara panjangnya mencapai hingga 7,5 meter.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Trokomod ini seperti benda purba yang baru keluar ke muka bumi, tetapi bentuknya futuristik. Ini semacam pemikiran yang tidak boleh dikeluarkan sebelumnya, lalu sekarang punya kesempatan tampil," kata Heri Dono, seniman Indonesia perupa Trokomod, ditemui di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (6/2).

Heri dipercaya untuk membawa nama Indonesia pada La Biennale ke-56 di Venesia ini. Karyanya yang bertajuk Voyage, yang menggabungkan seni patung, instalasi, dan multimedia, akan ditampilkan di Paviliun Nasional Indonesia yang terletak di ruang pameran Arsenale.

Voyage merupakan karya berlapis metafora mengenai arung samudra oleh bangsa-bangsa dengan berbagai implikasinya. Dahulu, bangsa-bangsa Barat melakukan penjelajahan samudra dan menjajah sebagian besar negara di Timur yang belum memiliki konsep kenegaraan.

Menurut seniman yang karyanya banyak terinspirasi dari seni teater wayang ini, semangat penjelajahan bangsa Barat untuk menjajah amat berbeda dengan bangsa Timur, misalnya Laksamana Cheng Ho. Berdekade-dekade lalu, Cheng Ho mengarung samudera justru untuk membina hubungan.

"Cheng Ho saat masuk ke Eropa tidak bermaksud untuk menjajah karena dalam konsep mandala semua adalah subjek di dunia. Konsep kolonialisme itu dimulai dengan adanya konsep subjek dan objek," kata seniman yang pernah belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu.

Hal inilah yang kemudian memunculkan dikotomi Western-Oriental atau Barat-Timur di mana orang Barat cenderung menganggap dirinya sebagai subjek yang berkuasa sementara orang Timur adalah objek.

Melalui Voyage, Heri menyediakan ruang bagi bangsa Indonesia (Timur) untuk melakukan refleksi kritis, sekaligus juga sarana untuk mengkritik bangsa Barat. Voyage dimaksudkan sebagai amunisi yang "menyerang" Barat bahwa Timur bukanlah objek, melainkan juga subjek dalam percaturan global.

Trokomod adalah karya instalasi utama yang dihadirkan dalam Voyage. Ia dilengkapi dengan periskop dan teleskop. Periskop terletak di dalam ruang Trokomod yang dapat dimasuki oleh sekitar 8 orang pengunjung. Lewat periskop, orang yang berada di dalam dapat melihat garapan multimedia.

Sebaliknya, pengunjung di luar Trokomod dapat meneropong ke dalam menggunakan teleskop. Di dalam Trokomod terdapat museum etnologi yang menyimpan artefak-artefak lama orang-orang Barat.

Selain fitur interaktif tersebut, Heri mendeskripsikan, langit-langit Trokomod bermotifkan batik non-tradisional. Di antara motif itu ada yang menunjukkan corak berbagai agama di Indonesia sebagai simbol bahwa Indonesia adalah negara yang toleran.

Sekeliling Trokomod dihiasi instalasi perahu-perahu yang bergantungan. Mereka seperti perahu roh dengan kipas besar di bagian belakang, kepala dari fiber glass, dan juga sayap. Suara-suara debur ombak dan iringan gamelan tekno modern juga turut mengalun di dalam Voyage.

"Kita mencoba untuk membuat sesuatu yang melawan Barat karena dalam sejarah seni rupa dunia, Indonesia tidak begitu dianggap atau tidak dibicarakan sama sekali," kata Heri.

Dia menambahkan, melawan terkadang merupakan hal tabu bagi bangsa Indonesia. "Karena kita sudah dijajah banyak-banyak bangsa. Akhirnya kita lebih bersifat defensif, kita selalu bertahan."

Padahal menurut Heri, melawan sesungguhnya adalah sesuatu yang wajar namun secara mentalitas orang Indonesia tidak punya keberanian untuk berkonfrontasi atau sekadar mengkritik bangsa Barat.

"Biasanya ketika kita punya kesempatan untuk kritik, mereka tidak mencecar atau mengkritik balik terus-menerus. Mereka akan melihat Indonesia sebagai negara yang demokratis, terbuka pada bisnis dan sosial," tutur seniman kelahiran Jakarta, 12 Juni 1960 itu.

Tahun ini merupakan kedua kalinya Indonesia ikut serta dalam La Biennale Venesia. Sebelumnya, pada 2013 Indonesia menghadirkan karya bertajuk Sakti di pameran seni rupa internasional dwitahunan tersebut.

Carla Bianpoen, Dewan Penasehat Artistik Paviliun Nasional Indonesia di La Biennale Venesia mengatakan dahulu Sakti juga menampilkan makhluk hibrida.

"Di Indonesia, ini seperti tradisional tetapi orang lain melihat berbeda. Heri Dono ingin menampilkan karya luar biasa yang berbeda dan mempunyai visi yang ingin disampaikan."

Trokomod dan komponen-komponen Voyage lainnya dibuat di Bandung dan Yogyakarta. Saat ini, 90 persen karya tersebut telah dikerjakan. Karya Indonesia itu direncanakan selesai pekan depan sebelum dikirim ke Jakarta lalu berlayar ke Venesia.

La Biennale Venesia pertama kali diadakan pada 1985. Pameran seni kontemporer tertua, terbesar, dan paling bergengsi ini diselenggarakan di dua lokasi. Pameran utama tempat berdirinya paviliun-paviliun permanen terletak di sebuah taman bernama Giardini. Ruang lainnya berlokasi di Arsenale yang merupakan bekas galangan kapal.

La Biennale Venesia ke-56 akan diselenggarakan pada 9 Mei sampai 22 November 2015 di Giardini. Sementara pameran di Arsenale dilaksanakan pada 6-8 Mei 2015. Tahun ini, La Biennale Venesia mengambil tema All The World's Futures. (vga/vga)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER