Ernest Prakasa Menertawakan Tionghoa, Melupakan Trauma

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Senin, 16 Feb 2015 14:55 WIB
Semasa sekolah, Ernest Prakasa sering jadi bahan ejekan karena ia etnis Tionghoa. Kini, Ernest menjadikan itu sebagai bahan utama lawakan-lawakannya.
Ernest Prakasa dianggap sebagai salah satu seniman berdarah Tionghoa yang sukses di Tanah Air (Dok. Instagram/ernestprakasa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pertama muncul di panggung pelawak tunggal, Ernest Prakasa langsung mampu membuat penonton terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak, pemuda bermata sipit itu tak sungkan-sungkan menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan lawakan. Isu yang paling sering dia angkat: etnis Tionghoa yang jelas jadi ciri khasnya.

Ernest bisa dengan mudah melontarkan lawakan soal matanya yang sipit, kulitnya yang putih, atau pengalaman buruknya dikata-katai China.

"Saya tidak menghina, karena semua yang saya alami itu nyata. Diskriminasi yang biasa dialami etnis Tionghoa itu ya kejadian," tutur pemuda kelahiran Jakarta, 29 Januari 1982 itu saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (16/2). Sejak masa sekolah dahulu, Ernest sering diperlakukan secara tidak menyenangkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di-bully, dioloki China, dipalakin. Waktu di sekolah dulu, ya sama pribumi," ucapnya.

Semua itu tersimpan dalam benak Ernest menjadi pengalaman buruk, sampai saat ia mengikuti kompetisi pelawak tunggal di sebuah stasiun televisi. Ia dan peserta lain diajari mencari materi lawakan dari pengalaman terdekat. Dari kegelisahan sampai kejujuran diri sendiri.

Pengalaman di-bully sebagai etnis Tionghoa pun terlintas dalam benak Ernest. Baginya, itu meresahkan. Itu lantas dijadikannya fokus materi melawan sesekali. "Setelah digali, semakin banyak dijadikan pembicaraan, baru saya terasa. Itu bisa jadi terapi," katanya tegas.

Penulis buku Ngenest-Ngetawain Hidup Ala Ernest itu pun menemukan ruh dalam setiap lawakannya. Diskriminasi etnis Tionghoa. Tanpa sengaja, segala pengalaman buruknya justru terangkat perlahan. "Menceritakan itu salah satu cara terapi efektif untuk berdamai dengan masa lalu yang tidak menyenangkan," ia menuturkan.

Meski begitu, Ernest tidak memilih cara yang ekstrem dalam menertawakan keetnisannya. Ia tidak membuat pengoloknya dahulu merasa harus meminta maaf, pun tak mendiskreditkan etnis Tionghoa lainnya sehingga terasa menyinggung.

"Saya enggak mau stereotipe. Saya enggak bilang China begini, China begitu. Kalau itu bahaya."

Ernest pun terbilang sukses sebagai salah satu seniman keturunan Tionghoa, yang berani membicarakan keetnisannya secara terbuka.

Bintang film Comic 8 itu mengakui, ia memang termasuk generasi yang merasakan perbedaan perayaan Tahun Baru China dari masa ke masa. Pada zaman Orde Baru dahulu, tuturnya, jangankan merayakan. Izin ke sekolah agar dapat berkumpul bersama keluarga saja sulit.

"Dulu Orba itu kan politis ya, diskriminatif sekali," katanya mengungkapkan. Ia akhirnya merasakan zaman Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang mengakui Tahun Baru China alias Imlek. "Apalagi waktu zamannya Megawati itu dijadikan hari libur nasional," imbuhnya.

Sejak itu, ia tak lagi kesusahan berkumpul bersama keluarga saat tahun baru, meski mengaku tak punya tradisi spesial. "Kayak lebaran, kumpul-kumpul, makan-makan. Makanan sudah akulturasi, malah ada ketupat sama opor," cerita Ernest. Menyambut Imlek Kamis (19/2) mendatang, ia pun tak menyiapkan apa-apa.

"Paling ada kue keranjang," ucapnya.

(rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER