Jakarta, CNN Indonesia -- Siapa pun warga Jakarta dan sekitarnya yang kerap melintasi Jalan H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, agaknya tak asing dengan Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Letaknya yang bersisian dengan stadion olahraga dan hotel terbilang familiar.
Namun adakah di antara para pelintas jalan tersebut mengenal gerangan Usmar Ismail? “Ialah peletak batu pertama idealisme film Indonesia.” Demikian dikatakan sutradara dan penulis skenario Misbach Yusa Biran, sebagaimana dilansir laman LSF.
Di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, kita bisa mendapati dokumen perfilman Indonesia yang terbilang lengkap, dari poster film sampai kliping. Di sini, juga terdapat bioskop mini untuk menayangkan film atau menggelar acara lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepanjang kariernya di ranah sinema, Usmar telah menggarap sekitar 30-an film. Salah satu yang paling terkenal,
Darah dan Doa (1950). Film ini disebut-sebut sebagai tonggak pembaharuan pembuatan film indonesia.
“Pembuatan film tidak tergantung pada soal komersial belaka. Melainkan hasil karya seni yang bebas dan mencerminkan kepribadian nasional.” Demikian suatu kali ditegaskan oleh sineas kelahiran Bukit Tinggi, Sumatra Barat, 20 Maret 1921.
Karya Usmar terbilang fenomenal, mengingat kala itu, Indonesia baru merdeka, dan sinema nasional baru menggeliat.
Darah dan Doa bukanlah film pertama Indonesia. Sebelumnya, sudah lebih dulu diproduksi film
Loetoeng Kasaroeng (1926).
Presiden B.J. Habibie melalui Keppres 25/1999 bersama Dewan Film Nasional menetapkan hari pertama syuting
Darah dan Doa (yang versi Bahasa Inggrisnya berjudul
The Long March of Siliwangi), pada 30 Maret, sebagai Hari Film Nasional.
Darah dan Doa diadaptasi dari cerita pendek karya Sitor Situmorang. Mengisahkan tentang Sudarto, guru yang terlibat revolusi fisik, termasuk Long March Siliwangi, perpindahan TNI dari Yogyakarta ke Jawa Barat, pada 1948.
“Saya tertarik kepada kisah Sudarto, karena menceritakan secara jujur kisah manusia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” ujar Usmar Ismail sebagaimana dilansir laman LSF tentang tokoh Sudarto yang menjalin romansa dengan gadis Jerman.
Sedari muda, Usmar mengakrabi seni terutama puisi dan sandiwara. Mantan tentara berpangkat mayor ini juga menggeluti jurnalistik. Pengalaman bekerja di studio film menuntunnya mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), pada 1950.
Tiga tahun kemudian, ia mendapat beasiswa untuk menimba ilmu sinematografi di Universitas California di Los Angeles, AS. Berikutnya, ia aktif membikin film, dari
Lewat Jam Malam (1954),
Tiga Dara (1956), sampai yang terakhir,
Ananda (1970).
Kepiawaian Usmar dalam menggarap film pernah diganjar Piala Citra, salah satunya Lewat Djam Malam. Film lainnya,
Tamu Agung (1955) diganjar penghargaan Film Komedi Terbaik Festival Film Asia (FFA) di Hongkong.
Film
Tamu Agung, juga film-film produksi Perfini lainnya, disebut Misbach sebagai film yang “mengandung kritik sosial dan politik, dan punya relevansi dengan apa yang berlangsung dalam masyarakat.”
Sebagaimana dilansir laman LSF, Usmar beranggapan, sensor film berlawanan dengan asas-asas demokrasi, apalagi melanggar salah satu tiang demokrasi yang terpenting, yaitu kemerdekaan berpikir, berbicara, dan menyatakan pendapat.
Tak hanya membuat film, Usmar pun mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Jebolan ATNI antara lain Teguh Karya, Tatiek Malijati, Pietradjaja Burnama. Usmar juga mengorbitkan bintang, seperti Nurnaningsih, Mieke Wijaya, Suzanna, Widyawati.
Dalam catatan Sinematek Indonesia, tak sedikit apresiasi yang disandangkan kepada Usmar, dari penghargaan tertinggi di bidang kebudayaan Widjajakusuma 1962 dari Presiden Sukarno, sampai Warga Teladan 1975 dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Presiden Soekarno menyebut Usmar sebagai “sutradara Indonesia yang sesungguhnya.” Sang sineas tutup usia pada 2 Januari 1971, karena stroke. Hingga kini, baik pemerintah maupun pegiat film, sepakat menyebutnya sebagai “Bapak Perfilman Indonesia.”
(vga/vga)