Monsters: Dark Continent, Sisi Gelap Perang Amerika

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Senin, 11 Mei 2015 09:32 WIB
Perang bukan hanya merugikan orang lain, tetapi juga menimbulkan trauma dan depresi bagi yang melakoninya. Pergolakan itu jarang diungkap.
Poster film Monsters: Dark Continent. (Dok. Protagonist Pictures)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perang bukan lagi hal asing. Sejak agresi militer diluncurkan Amerika Serikat ke Timur Tengah pada awal 2000-an, perang menjadi hal yang lumrah di layar kaca maupun surat kabar.

Meski hampir setiap hari berita menyajikan pengeboman, penembakan, huru-hara, agresi, invasi, dan sebagainya, ketakutan dan depresi yang ditimbulkan perang itu sendiri tidak pernah tergambar secara utuh.

Melalui film Monsters: Dark Continent, sutradara Tom Green berupaya merekam suasana perang dari sudut pandang prajurit, yang seringkali tak tersentuh mata orang lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Film yang dirilis pertama kali pada 9 Oktober 2014 di London Film Festival ini mengisahkan sekelompok prajurit yang mencoba menuntaskan misi di tengah-tengah serangan monster astral yang menyebar di seantero bumi.

Bukan hanya monster yang harus dituntaskan. Sekelompok separatis Timur Tengah juga harus dihadapi prajurit Angkatan Darat Amerika Serikat itu. Semua jadi serba kacau.

Monsters: Dark Continent merupakan sekuel yang tidak langsung berkaitan dengan film sebelumnya, Monsters. Film itu rilis pada 2010 oleh Gareth Edwards. Namun pada sekuel ini, Edwards tidak ikut duduk sebagai sutradara karena sibuk mengambil gambar untuk Godzilla.

Monters: Dark Continent banyak berbeda dengan film pertamanya. Di sekuelnya, film terasa lebih kental akan humanisme ketimbang teror yang disebarkan para monster dan separatis.

Sesuatu yang jauh lebih menakutkan ketimbang monster ternyata adalah perang. Sayangnya, ide humanis itu terasa menghabiskan waktu. Selama dua jam penonton harus menyaksikan penembakan, darah, mayat, kehancuran, bom, dan teriakan serta halusinasi prajurit di medan perang.

Anda yang fobia darah dan potongan mayat, sebaiknya memalingkan wajah. Namun bagi pencinta film perang, boleh direkomendasikan.

Satu hal yang menarik dari film ini adalah beberapa gagasan yang muncul mengenai keberadaan tentara Amerika di Timur Tengah dengan dalih melawan pemberontak dan monster.

Tom Green secara satir mempertanyakan manfaat keberadaan tentara Amerika Serikat di lokasi perang. Ia mengungapkan bahwa alih-alih menciptakan perdamaian, mereka hanya menimbulkan depresi dan teror bagi dirinya sendiri serta masyarakat setempat.

Satir humanis yang terasa dominan itu memang menggelitik nurani kemanusiaan, tetapi di waktu yang bersamaan juga menenggelamkan kisah asli film tentang monster-monster astral.

Film ini jauh dari Independence Day yang dibintangi Will Smith, meski intinya sama: melawan alien. Pun sangat jauh jika dibandingkan film perang Band of Brothers.

Green tampaknya keasyikan mengkritik negaranya sendiri sehingga film ini lebih mirip drama peperangan ketimbang thriller monster.

Porsi aksi yang dominan dengan minim dialog dan lebih mengeksplor emosi sebenarnya menjadi peluang film ini menguras air mata serta emosi penonton. Namun karena terlalu banyak drama dan frustrasi, akhirnya jadi monoton.

Ketidakjelasan arah cerita itulah yang menjadi cacat besar film yang dibintangi oleh Johny Harris, Sam Keeley, dan Joe Dempise ini. Meski begitu, film ini cukup layak menempati koleksi DVD Anda jika sedang berminat merasakan suasana perang yang sesungguhnya.

(rsa/rsa)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER