Jakarta, CNN Indonesia -- Sejatinya komik Tintin versi Thomas Lebrun yang kontroversial sudah diunggah di
blog-nya sejak 2011 lalu, dan sudah dihapus sejak lama. Namun belakangan, bahasan tentang komik Tintin versi sang ilustrator menghangat lagi di ranah maya.
Tintin adalah tokoh komik rekaan Herge yang sangat populer di negeri asal sang komikus, Belgia, juga negara Eropa lain sejak 1930-an. Di Indonesia, komik Tintin sudah dirilis sejak 1970-an. Memasuki era milenium ke-dua, beredar komik Tintin versi ekstrem.
Salah satunya, edisi
Tintin di Kongo yang dibuat oleh Lebrun. Sebetulnya jalan cerita komik Tintin versi Lebrun tak beda dengan versi orisinal buatan Herge. Adegan per adegannya benar-benar sama. Hanya penggambaran sosok Tintin yang berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di komik versi Lebrun, Tintin digambarkan ke mana-mana telanjang bulat tanpa setelan celana
ngatung cokelat dan
sweater biru berkerah putih khasnya. Sementara tokoh lain, seperti Kapten Haddock tetap berpakaian lengkap.
Tak heran bila media pers Barat, salah satunya laman io9, menyebut komik versi Lebrun ini luar biasa vulgar karena mengumbar penis secara blak-blakan di semua kolom komik, adegan per adegan, tanpa kecuali.
Bukannya tanpa alasan bila Lebrun menggambar ulang Tintin di Kongo versi vulgar. Ia sengaja melakukannya sebagai bentuk protes terhadap isu rasialis dan paternalis yang mendominasi keseluruhan cerita di edisi ini.
Tintin di Kongo versi Herge mengisahkan petualangan sang wartawan berjambul di Benua Hitam. Kaum pribumi digambarkan terbelakang dan primitif. Sebagai kontra kisah itu, Lebrun membuat Tintin tanpa busana.
Tujuan Lebrun menelanjangi Tintin tak lain untuk menegaskan bahwa sesungguhnya orang Barat lah yang primitif. Stereotipe kaum kolonial yang memiliki pemikiran dangkal, sikapnya pun tak terpuji: rasialis dan paternalis.
Bagi sebagian pembaca era modern yang menjunjung tinggi hak asasi dan perdamaian, kisah
Tintin di Kongo versi Herge memang meresahkan. Namun Herge tak bisa begitu saja dipersalahkan.
Menurut pakar kajian Afrika, Nancy Rose Hunt, memang begitulah spirit sebagian besar orang Belgia atau Eropa era ’30-an saat komik tersebut dibuat: kolonialis, rasialis, paternalis.
“Dengan sendirinya, komik
Tintin di Kongo versi Herge menjadi catatan sejarah: begitulah cara pandang orang Barat kala itu di mana tingkat pendidikan memang masih minim,” kata Hunt.
Sekalipun dituding rasial, toh banyak juga yang merasa diuntungkan dengan adanya komik
Tintin di Kongo, dari agen wisata sampai tokoh budaya, karena popularitas Kongo justru terdongkrak.
Jadi sebetulnya Lebrun tak perlu buru-buru menghapus komik
Tintin di Kongo versinya yang serba telanjang bulat. Karena toh ia tak sembarang menayangkannya di
website.
Lebrun menempatkan komik
Tintin di Kongo versinya di
laman ber-
tag NSFW (
no safe for work). Artinya, menempati laman khusus yang tak bisa sembarang diakses publik karena memuat konten pornografi.
Kisah
Tintin di Kongo versi Herge sendiri sebetulnya belum benar-benar tamat. Dikreasikan pada 1931, lalu direvisi dua kali antara 1946 sampai 1975 gara-gara isu rasial yang memanas itu.
Lebrun sempat menghapus komik Tintin bugil versinya karena takut dikenai sanksi oleh Editions Moulinsart, pemegang hak cipta karya Herge. Tapi
netizen kadung me-
repost-nya berulang-ulang, jadilah komik Tintin bugil itu masih beredar di ranah maya.
(vga/vga)