'Sentuhan' Buku Fiksi untuk Para Pengungsi

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Kamis, 10 Sep 2015 10:12 WIB
Buku fiksi membantu pembaca memahami dunia, membuat mereka lebih peka akan masalah sosial, termasuk banjir pengungsi yang melanda Eropa.
Buku fiksi membantu pembaca memahami kondisi para imigran. (REUTERS/Alexandros Avramidis)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bukan hanya foto-foto menyentuh dan berita bertubi-tubi di media yang mampu menumbuhkan perasaan simpati kepada para pengungsi. Buku-buku fiksi pun mampu melakukannya. Cerita fiksi yang bagus, menurut Gillian Cross penulis buku anak asal Inggris, membantu pembaca lebih peka.

Cross pernah melakukan "tugas mulia" itu saat menulis After Tomorrow, novel tentang dua kakak beradik Inggris yang menjadi imigran di Perancis.

Di laman The Guardian, Cross mengungkapkan, ide menulis kisah itu didapatnya saat membaca buku tentang pengungsi Sudan di Chad, lima atau enam tahun lalu. Kejadiannya jauh sebelum krisis pengungsi yang melanda Eropa seperti sekarang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat membaca itu Cross berpikir, "Bagaimana jika itu saya?" Suatu hari, pemikiran itu berkembang menjadi, "Bagaimana jika itu seorang anak laki-laki bernama Matt? Seorang bocah Inggris. Bagaimana dia akan menghadapi situasi itu?" Pemikiran itu akhirnya dirangkum dalam After Tomorrow.

Cross mengatakan, ia tak sembarangan saat menulis cerita tentang pengungsi, termasuk keseharian dan penderitaan mereka. Ia harus mencari alasan mengapa tokohnya menjadi imigran, dan membuat semua detail dalam cerita itu senyata mungkin.

"Saya memutuskan membuat penampungan kolaps sehingga tidak ada yang bisa membeli makanan. Semua hal buruk yang dialami Matt dan saudaranya, Taco, terjadi pada pengungsi sungguhan, di suatu tempat di dunia," Cross menulis alasan.

"Orang-orang tidak meninggalkan rumah mereka tanpa alasan, dan saya tidak mau melebih-lebihkan itu."

Beruntung Cross membuat latar ceritanya di tempat yang ia tahu, Inggris dan Perancis. Jadi ia bisa tahu betul detail kondisi serta bagaimana perasaan anak kecil yang meninggalkan rumah. "Semua dirasakan pengungsi. Perasaan meninggalkan tempat yang mereka kenal, adalah bagian yang perlu kita pahami tentang krisis saat ini," lanjut Cross.

Ia juga mengeksplor hal lain, yakni bahasa. Kebanyakan pengungsi datang dari negara yang bahasanya berbeda dengan destinasi mereka. Pun demikian dengan budaya. "Penting untuk menyadari betapa asingnya Eropa bagi mereka dan betapa sulitnya hidup di tempat yang segalanya tidak dikenal serta sulit dimengerti," jelasnya.

Sisi-sisi itulah yang biasanya dieksplorasi oleh buku fiksi, sehingga pembacanya lebih tersentuh. Meski labelnya fiksi, detail-detail harus dibuat seakurat mungkin agar lebih terasa bagi pembaca.

Dengan demikian, tulis Cross, buku bisa membantu memahami orang lain yang jauh berbeda dari pembaca, di mana pun orang itu berada. Peran itu jauh lebih vital dari yang pernah ada. Cerita fiksi membantu itu karena mereka mengajak pembaca masuk ke kisahnya, mengeksplorasi tiap sudut.

Dengan buku fiksi, orang-orang bisa mengubah perspektif "mereka" dan "kita." (rsa/vga)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER