Jakarta, CNN Indonesia -- Siaran radio nasional telah mengudara selama tujuh dekade. Ditandai lahirnya Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945. Sekalipun digempur media massa baru, dari televisi hingga digital, tidak juga menyurutkan peranan radio.
Hingga kini, stasiun radio penanding RRI, terutama swasta, terus bertumbuh. Siaran mereka bergulir, 24 jam, setiap hari. Tentu saja bukan perkara mudah bila yang disajikan adalah berita, bukan semata lagu atau sandiwara.
“Namun di era sekarang, kami sangat terbantu dengan teknologi media sosial, juga telepon, di mana laporan atau respon dari masyarakat diterima redaksi dalam tempo singkat, bisa segera diolah dan disiarkan,” kata Haryo Ristamaji dari Radio Elshinta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Laporan atau respon dari masyarakat itulah yang membuat radio berita seperti Elshinta tak pernah kehabisan materi berita dan sanggup bersiaran 24 jam nonstop. Demikian disampaikan Haryo kepada CNN Indonesia via telepon, hari ini (11/9).
“Semisal, ada pemadaman listrik, warga malah melapor ke Elshinta, bukannya langsung ke PLN. Kami sendiri juga kadang bingung. Namun warga beralasan, mereka lebih percaya laporan ke media lebih berpotensi diperhatikan ketimbang warga,” katanya.
Tentu saja, tidak semua materi berita mengandalkan laporan atau respon masyarakat. Bagaimana pun reporter Elshinta yang tersebar di seluruh daerah Indonesia tetap aktif memasok berita. Namun partisipasi masyarakat membuat berita menjadi lebih “unik.”
Dikatakan Haryo, adanya liputan oleh reporter ditambah laporan masyarakat—melalui media sosial maupun telepon—meleluasakan Elshinta menyajikan berita “
costumized” sesuai eranya. Berita mengalir dari dua arah: stasiun radio dan pendengar.
“Jadi sajian berita kami sesuai yang diinginkan pendengar. Hal ini membuat sajian berita menjadi lebih efektif,” kata Haryo, yang melakoni sederet tugas di Elshinta, yaitu sebagai Managing Editor, Program Director, juga Senior Executive Produser.
Semula bentuk siaran Elshinta layaknya radio swasta kebanyakan yang menyiarkan lagu-lagu
Top 40. Memasuki milenium ke-dua, berpindah haluan menjadi radio berita. Toh begitu, pendengar tetap aktif menyimak berita, dan hanya berita.
Gempuran berita oleh stasiun radio—terutama swasta—diakui Doddy Rosady, mantan koordinator liputan (korlip) Radio 68H, kepada CNN Indonesia, sebagai upaya edukasi masyarakat, terutama mereka yang tak punya banyak waktu untuk membaca koran atau berita
online.
Doddy mencontohkan para sopir taksi yang sehari-hari berkendara dengan ditemani siaran berita radio. “Mereka bukan cuma mendengarkan siaran,” katanya. Lebih dari itu, “Mereka juga menjadi lebih tanggap isu, dan wawasannya pun lebih luas.”
Dalam pandangan Doddy, kegemaran orang mendengarkan siaran berita radio sangat dipengaruhi kemahiran si reporter maupun redaktur dalam menggarap materi siaran. Pilihan kalimat serta keluwesan bertutur saja tidak cukup.
“Reporter maupun redakturnya harus punya
theatre of mind, sehingga ketika ia bersiaran, para pendengar bisa langsung mendapat gambaran soal peristiwa yang terjadi,” kata Doddy. “Lewat audio bisa langsung terbayangkan visualnya.”
Kini, di tengah begitu dahsyatnya gempuran media
online, diakui Doddy, ada kalanya siaran berita radio kalah cepat dibanding laman berita. Namun hal ini tak membuat tim radio yang bertugas memburu berita berkecil hati.
“Berbekal peralatan rekam canggih, kini kami bisa merekam siaran penting, seperti pengunduran diri menteri atau pengumuman presiden, lalu menyiarkan sama cepatnya dengan media
online,” kata Doddy. “Kata-kata penyiar sekadar mengantar berita.”
Bila pun ternyata media
online kadung membalap, diakui Doddy, pihak stasiun radio tak kehilangan akal. “Kami akali dengan
behind the news.” Apa pun upaya yang dilakukan, semata untuk menjaga gelombang berita radio pantang surut di udara.
(vga/vga)