Jakarta, CNN Indonesia -- Jika Disc Tarra menutup 40 gerai musiknya akhir tahun mendatang, penjual rilis fisik musik di Indonesia semakin berkurang. Namun, itu bukan penanda industri musik di Indonesia berada di ambang kepunahan.
Setidaknya begitulah menurut pengamat musik sekaligus promotor konser Rock in Celebes, Ardi Chambers. Penutupan toko musik besar, menurutnya murni masalah manajemen. Itu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap industri musik Indonesia secara umum.
"Tidak ada kemunduran sama sekali dalam industri musik Indonesia. Itu murni karena bisnis mereka (toko musik besar) sudah tidak signifikan keuntungannya terhadap penjualan. Itu masalah bisnis," ujar Ardi saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (5/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penutupan gerai penjualan musik tidak menyurutkan artis atau musisi untuk terus produktif merilis karya-karya mereka melalui label dan toko musik independen.
"Pasar (musik) juga tetap apresiatif terhadap karya album musisi," ujarnya lagi.
Walau demikian, ia tak dapat memungkiri bahwa penikmat musik digital saat ini makin meningkat. Itu yang mungkin mengurangi jumlah rilisan fisik di negeri ini. Namun, lagi-lagi Ardi menegaskan masih banyak musisi yang merilis karya berbentuk fisik.
"Walaupun saat ini sudah ada distribusi baru melalui digital, penjualan (rilisan fisik) masih tetap jalan," ucap Ardi yang juga memiliki toko musik di Sulawesi itu.
Ia melihat era musik digital sudah mulai memberikan dampak yang cukup signifikan secara global, namun tidak di Indonesia.
"Buktinya, sampai saat ini kolektor rilisan fisik masih bertahan," katanya menegaskan.
Ardi yakin, jumlah toko musik independen masih lebih banyak dibandingkan gerai musik besar. Maka dari itu, Ardi menyarankan para musisi tidak khawatir adanya penutupan toko musik besar di sejumlah kota di Indonesia.
"Masih banyak toko musik independen yang tersebar di Indonesia, bahkan melebihi toko-toko musik besar," ujarnya santai.
(rsa/utw)