Washington, CNN Indonesia -- Seorang ahli filosofi pasti sependapat jika film “Star Wars” bukan sekadar pameran kapal ruang angkasa, pedang sinar laser ataupun puteri kerajaan.
Film yang kaya dengan mitologi, simbolisme dan teologi yang bercerita tentang kehidupan di bima sakti yang terletak sangat, sangat jauh, ini selama beberapa dekade terbukti menjadi peti harta karun bagi para ahli filosofi Planet Bumi.
“Star Wars” mengangkat masalah si baik dan si jahat, kebebasan dan keteguhan, ramalan tentang keberadaan manusia terpilih, dan sifat
The Force yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“‘Star Wars’ sangat kuat karena membantu kita mengerti diri kita sendiri dengan melihat sisi baik dan sisi kelam
The Force. Kita akan merasakan hal itu dalam kehidupan kita ketika memiliki niat untuk mendapatkan kepuasaan secepatnya tetapi juga bermimpi mencapai tujuan jangka panjang,” kata George Backen, gurubesar filosofi Universitas di Colorado.
“George Lucas berhasil menyatukan berbagai mitos, Flash Gordon, budaya Barat dan budaya Jepang, dan hal itu memang dirasakan oleh manusia,” tambah Backen.
Selama lebih dari 30 tahun, akademisi, mahasiswa dan penganut agama mempergunakan “Star Wars” sebagai dasar untuk mempelajari tema-tema seperti ambiguitas moral, hubungan ayah dan anak lelaki, konsep kecantikan feminin dan keinginan mencari sesuatu yang lebih baik dalam hidup.
Kini, mereka menanti topik-topik baru untuk dipelajari dari film lanjutan terbaru “Star Wars: The Force Awakens”, yang akan dirilis pada 18 Desember.
“Saya penasaran apakah tema ‘The Force Awakens’ merupakan situasi setelah serangan 9/11, dimana kepastian yang sebelumnya ada digoyahkan dan hal-hal yang kita yakini bisa diandalkan pun terganggu?” kata Kevin Decker, gurubesar filosofi Universitas Eastern Washington dan salah satu pengarang buku “The Ultimate Star Wars and Philosophy.”
Decker, yang telah menonton enam film ‘Star Wars’ sebelumnya lebih dari 100 kali, juga akan memantau perubahan radikal dalam konsep
The Force sebagai hakim tertinggi yang menentukan siapa yang baik dan siapa yang jahat.
“Jika, misalnya, ‘The Force Awaken’ berarti seluruh manusia tiba-tiba sadar bisa mempergunakan
The Force dan mereka tidak pernah memiliki pelatihan atau pengetahuan tentang itu, ini akan menjadi perubahan mendasar di dunia ‘Star Wars’,” kata Decker.
Spiritualisme memang merupakan tema utama “Star Wars”. Sekitar 15 tahun lalu George Lucas pernah dikutip mengatakan bahwa
The Force merupakan perwujudan “satu konsep agama yang berasumsi ada Tuhan dan ada sifat baik dan sifat jahat.”
Caleb Grimes, pengarang buku “Star Wars Jesus”, memandang niat awal Luke Skywalker muda untuk mencari sesuatu yang lebih menggambarkan “keinginan kita untuk mengetahui Tuhan secara langsung.”
Para ahli filosofi mendebatkan apakah
droid seperti R2-D2, sadar atau memiliki hati nurani, dan bagaimana hal itu bisa diuji.
Pasukan kerajaan,
Imperial Stormtroopers, sejak lama diidentifikasikan seperti pasukan Nazi, dan banyak kelompok feminis memandang bikini metal dan kalung metal Putri Leia di “Return of the Jedi” merupakan gambaran ideal para tiran tentang kecantikan feminin.
Backen, yang begitu sering menonton film-film ini, mengatakan meski tokoh-tokohnya tidak secara aktif bergulat dengan konsep filosofi, film ini membantu menjelaskan pengalaman manusia melalui cerita.
“Dunia Marvel dan ’Lord of The Rings’ sangat popular tetapi mereka tidak memiliki pengaruh budaya seperti ‘Star Wars’,” kata Backen.
Backen mengatakan mata ajaran yang berdasarkan pada ‘Star Wars’ sangat diminati oleh mahasiswanya.
“Ini cara lain para mahasiswa ingin mengemukakan kesukaan mereka dan menjadi bagian dari dunia ‘Star Wars’. Mata ajaran ini memberi kesempatan itu dan mereka belajar banyak filosofi. Semoga.”
(yns)