Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Setahun belakangan ini, prostitusi yang melibatkan sejumlah nama dari kalangan selebriti mencuat ke permukaan. Pertanyaannya, apakah fakta atau isapan jempol belaka? Benarkah banyak selebritas yang terlibat? Dari kelas dan kalangan apa? Seperti apa modusnya?
Jelas, ini bukan fakta baru. Fenomena prostitusi dalam dunia selebriti (baca: artis) sudah ada sejak lama. Namun yang perlu dipahami publik adalah tak semua artis memilih jalan pintas itu. Memang ada sejumlah artis yang berprofesi “ganda,” tapi lebih banyak juga yang lurus dan mengandalkan profesionalitas mereka.
Enam Fakta Bukan Akal-Akalan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. Fakta tentang kelas-kelasBiasanya, pekerjaan sambilan melalui
sex for sale, biasanya atau kebanyakan dilakukan oleh artis-artis yang masuk ke dalam kategori kelas menengah ke bawah alias kelas B dan C.
Kalangan dari kelas B dan C inilah yang paling mendominasi. Bisa dari kalangan artis sinetron, penyanyi dangdut atau foto model. Susah untuk membedakan dari ketiga lini kalangan itu mana yang paling dominan karena ada beberapa yang profesinya rangkap dua atau bahkan tiga.
Dalam menjalankan operasinya, mereka kerap menggunakan muncikari atau germo. Aturan mainnya sederhana, harus ada
down payment (DP) alias uang muka kalau mau pesan, dan hotel berbintang empat biasanya. DP sebesar 30-50 persen bisa melalui transfer, bisa juga langsung
cash ketika terjadi pertemuan melalui
lunch/dinner date atau
shopping date.2. Fakta tentang selebriti kelas A, premium classBagaimana dengan selebriti kelas A?
Meski jumlahnya sangat sedikit, untuk selebriti
premium class ini mereka punya modus sendiri yang susah dikategorikan sebagai bagian dari transaksi
sex for sale. Artis kelas A adalah artis yang benar-benar berpredikat
public figure. Mereka biasanya tidak akan sembarangan menerima pesanan pelanggan, apalagi dengan
booking short time atau
one night stand.Sangat jarang terjadi, artis kelas A mau menerima tawaran kencan untuk 1,5 jam sampai 3 jam. Mereka biasanya melakukannya dengan pola-pola tersendiri seperti melalui transaksi nikah kontrak, nikah siri, kontrak piaraan, pacaran tapi porotan (PTP), dan pelesir seks.
3. Fakta tentang dulu dan sekarangDulu, karena teknologi belum canggih, modus prostitusi
premium class banyak memakai cara-cara konvensional. Misalnya, bertemu sambil makan siang atau malam hanya untuk kontes yang berlanjut ke kamar hotel atau apartemen.
Sekarang? Semua serba digital,
online. Pelanggan dengan mudah bisa melihat portofolio si artis lewat foto atau video via WhatsApp, Line, BBM atau bahkan langsung di media sosial. Bukankah sudah jadi rahasia umum, sejumlah artis kelas B dan C sengaja melakukan
personal branding di media massa (cetak maupun elektronik) dan media sosial dengan cara yang halus,
soft core.4. Fakta tentang prostitusi dan gaya hidupPertama, karena tidak semua artis bisa memenuhi kebutuhan dan gaya hidup hanya mengandalkan profesinya, maka di sanalah artis terlibat
sex for sale. Kedua,
sex for sale dijadikan sebagai salah satu cara dan sumber dana untuk untuk membuat strata keartisannya meningkat. Ajang
sex for sale menjadi semacam
personal branding untuk dapat menunjukkan eksistensinya.
Gaya hidup itu memang mahal. Susah untuk menghitung berapa biaya sebulan untuk memenuhi gaya hidup seorang artis. Gaya hidup itu tak bisa dihitung dengan matematika. Justru, karena faktor gaya hidup yang susah dihitung dengan angka-angka itulah yang membuat sejumlah selebriti nyambi dan nyemplung ke dunia prostitusi.
5. Fakta tentang pelangganSiapa pelanggan para artis itu?
Saya tidak dapat menyebutkan bahwa artis-artis yang berprofesi ganda itu hanya mau melayani para pejabat atau pengusaha. Pada prinsipnya, mereka cukup tahu, orang yang bakal menjadi "klien"-nya itu berduit; orang kaya yang gaya hidupnya glamor. Karena, pria —atau bisa jadi perempuan— yang berduit pun akan merasa bangga jika dapat menggandeng dan mengencani artis.
6. Fakta tentang germoAkses utama di dunia prostitusi adalah germo. Nah, ada beberapa hal yang harus diluruskan siapa sebenarnya germo itu. Berita yang belakangan terakhir muncul, tak jelas apakah pantas disebut germo atau hanya broker.
Germo biasanya mempunyai “ani-ani” alias anak-anak didik yang dikelola dengan manajemen serius. Seorang germo yang punya 20 “ani-ani” akan mengatur segala kebutuhannya dari A sampai Z. Sebelum terjun ke dunia “culay” (baca: kencan seks), mereka lebih dulu akan diajari
table manner, bahasa, fesyen, sampai
make up. Begitu seterusnya.
Dalam menjalankan operasi itulah, biasanya beberapa germo membutuhkan germo untuk masuk ke pelanggan. Meskipun banyak juga germo yang sudah pelanggan tetap tanpa harus melalui jasa broker.
Yang disebut broker, sama sekali tidak punya “ani-ani.” Broker tak ubahnya
sales marketing yang menjembatani germo, artis, dan pelanggan.
Bagaimana bisa muncul fenomena manajer menjual artisnya?
Kalau ada manajer yang sampai mengelola urusan transaksi
sex for sale untuk artisnya itu ya, apa bedanya dengan germo. Dalam hal ini, profesi manajer artis menjadi ikut jelek citranya karena ulah beberapa orang yang mengatasnamakan manajer artis.
Meski pun, mungkin dalam beberapa kasus, kebetulan ada juga manajer atau asisten manajer yang kemudian juga nyambi jadi perantara (broker) untuk transaksi seks. Hanya saja, tetap saja dibutuhkan “germo betulan” dan bukan “germo kebetulan” alias dadakan untuk bisa masuk ke transaksi seks.
Fakta atau Isapan Jempol?Melihat fenomena munculnya beberapa kasus prostitusi setahun belakangan ini, terutama dua bulan terakhir, satu hal yang sepatutnya digarisbawahi adalah soal cara pandang dan sikap kita.
Bahwa, fakta ada sejumlah selebriti yang berpraktik di dunia
sex for sale memang benar adanya. Tapi, tidak kemudian, beberapa kasus yang sekarang menjadi topik hangat di media massa menggiring opini kita untuk berpikir jelek dan negatif terhadap semua selebriti. Jangan-jangan, apa yang kita kira fakta, ternyata isapan jempol belaka.
Belum tentu, fakta yang sekarang tersaji bebas dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat itu benar adanya. Karena untuk membuktikan seorang artis terlibat prostitusi atau tidak, itu bukan masalah mudah. Dibutuhkan pembuktian secara detail dan berlapis untuk sampai pada kebenaran sesungguhnya.
Bukankah kebohongan tak pernah jauh dari kebenaran? Dan sebaliknya, kebenaran juga tak pernah jauh dari kebohongan. Maka, biarkanlah fakta mencari kebenarannya sendiri. Dan kita sebagai saksinya. Salah satu caraya, dengan berpikir bijak dan tidak terburu-buru menghakimi seseorang.
(dlp)