Malam-malam Penuh Sajak Taufiq Ismail

Rizky Sekar Afrisia | CNN Indonesia
Sabtu, 25 Jun 2016 10:08 WIB
Taufiq Ismail sudah ingin jadi penulis sejak kecil. Ia hidup bergelimang buku. Hobinya membaca dan menulis, yang biasanya dilakukan di malam hari.
Taufiq Ismail menginjak usia 81 tahun hari Sabtu (25/6) dan masih terus berkarya. (ANTARA FOTO/Riki Rahmansyah)
Jakarta, CNN Indonesia -- Taufiq Ismail tumbuh dengan buku. Rumah pria kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu bergelimang literatur. Orang tuanya memang wartawan dan guru yang suka membaca.

"Mereka suka baca buku tebal-tebal di rumah. Saya sebagai anak melihat itu dan ingin mencontoh," kata Taufiq kepada CNNIndonesia.com saat dikunjungi di kantornya, kawasan Utan Kayu, Jakarta, baru-baru ini.

Tapi Taufiq sudah punya kecenderungan membaca sastra sejak kecil. Buku favoritnya bertema roman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Yang pertama saya baca judulnya Tak Putus Dirundung Malam," ujarnya tentang karya Sutan Takdir Alisjahbana.

Melihat putranya suka membaca, orang tua Taufiq tidak pelit-pelit mengeluarkan uang untuk buku. Sebulan sekali, ia dibawa ke toko buku dan dibiarkan membeli dua judul kesukaannya.

Tak puas dengan itu, Taufiq kecil yang masih berusia sekitar tujuh tahun membuka buku-buku lain dan membacanya sembari duduk di lantai toko. Bisa satu buku ia 'lahap' di tempat.

Dari kecintaan membaca itulah dorongan menulis pria yang kelak menjadi salah satu penyair besar Indonesia itu timbul. Apalagi setelah ia melihat ayahnya, yang bekerja sebagai Wakil Ketua Redaksi koran Sinar Baru Semarang menulis tajuk rencana.

"Saya kagum sekali dan ingin meniru. Saya kirimkan puisi untuk ruang anak-anak di surat kabar itu," tutur Taufiq bercerita. Ia lupa puisinya soal apa. Yang jelas itu gurindam.

"Dua atau empat baris, saya lupa."

Puisi itu jelas dimuat, entah hasil 'kongkalikong' atau tidak. "Tulisan anak-anak kan susah dibaca, tapi redaktur muda di sana bilang, 'Oh ini ditulis anaknya Pak Gaffar [ayah Taufiq, A. Gaffar Ismail]. Ayo cepat muat,'" tuturnya sembari tertawa.

Taufiq lantas ketagihan. Ia langsung tahu cita-citanya saat dewasa kelak: jadi penulis. Semakin gencar ia mengirim karya, terutama setelah lulus SMA.

Semakin dewasa, bakat Taufiq semakin terlihat. Ia rutin berkarya. Biasanya, malam-malam orang menonton televisi atau tidur, ia memilih menulis. Suasan tenang membangkitkan semangatnya merangkai kata.

"Biasanya pukul sembilan atau 10 [malam] gitu," ujarnya.

Hasilnya, puisi bejibun yang ia jadikan satu dalam buku-buku seperti berjudul Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia, Tirani dan Benteng, Buku Tamu Musim Perjuangan, Sajak Ladang Jagung, Kenalkan, Saya Hewan, Puisi-puisi Langit, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, Ketika Kata Ketika Warna, Seulawah-Antologi Sastra Aceh, dan beberapa lainnya.

Ia termasuk yang disiplin menulis. Kondisi sosial, politik, apa pun bisa jadi inspirasinya. Pernah memang, sesekali Taufiq mengalami writing block. Saat itu terjadi, katanya, ia memilih berhenti sejenak. Tapi meneruskan lagi kemudian.

"Yang penting sekali ya harus banyak membaca, lalu diskusi. Tentu pengalaman hidup juga berpengaruh," katanya memberi saran.

Belakangan Taufiq ingin mengumpulkan karyanya, baik puisi maupun esai yang pernah dimuat, dalam buku tebal yang dijilid hard cover. "Yang lagi saya kumpulkan dari 2008 sampai sekarang," tuturnya.

Meski cita-citanya kesampaian, lulusan Kedokteran Hewan dan Peternakan Institut Pertanian Bogor itu tidak ingin menggantungkan hidup sepenuhnya pada menulis.

Taufiq ternyata juga pekerja kantoran. Lama ia pernah bergabung dengan perusahaan swasta, Unilever. Tujuannya agar mendapat pasokan pasti selain dari karya sastra.

"Saya lihat contoh di masyarakat banyak sekali penulis yang konsekuen betul-betul, hidupnya susah. Saya tidak mau. Saya ingin punya pekerjaan tetap. Tapi keinginan menulis tetap dilakukan. Jadi saya tidak menggantungkan nafkah dari apa yang saya tulis," ia menjelaskan.

Tapi kini ia tak lagi bekerja di perusahaan swasta. Taufiq masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Bina Antarbudaya di AFS dan mengelola majalah sastra Horison.

Yang jelas, di dunia sastra pun ia masih bersuara. Taufiq menegaskan, ia tidak pernah ingin berhenti menulis. Meski hari ini, Sabtu (25/6) usianya telah menginjak 81 tahun.

Selamat ulang tahun, Taufiq, dan tetap berkarya. (rsa/vga)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER