Jakarta, CNN Indonesia -- "Aku hidup di dunia yang sama sekali tak pernah dialami dan terpikirkan oleh si mbahku saat seusiaku—bahkan ketika ia sekarang masih hidup di usianya yang hampir 90 tahun." Begitulah selarik kalimat pembuka novel terbaru Okky Madasari,
Kerumunan Terakhir.
Selanjutnya, sang penulis asal Magetan, Jawa Timur, menuliskan isu-isu aktual yang terjadi dalam kehidupan manusia, "Jangankan si mbah, sepuluh tahun lalu pun aku tak pernah membayangkan dunia akan jadi seperti ini dan aku akan hidup dengan cara seperti ini."
Novel ke-lima yang dirilis pada 2 Mei 2016 ini menampilkan karakter utama Jayanegara atau Matajaya, sekaligus menghadirkan cerita baru yang lebih segar tentang kegelisahan manusia memasuki era dunia baru, dunia digital, dunia internet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peraih Khatulistiwa Literary Award ini menggambarkan kegelisahan dalam wujud kerumunan ke kerumunan yang berujung sebuah pertanyaan tentang masa depan.
“Kita sekarang berada di masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dengan teknologi, masyarakat yang sangat memiliki relasi sangat erat dengan media sosial, dengan internet. Sebuah kondisi di mana rasanya bukan lagi kita yang hanya sekadar menggunakan teknologi, tapi bisa jadi teknologi dan internet juga yang menguasai kita,” kata Okky Madasari di acara tur dan bedah novel
Kerumunan Terakhir, pada Sabtu sore (4/6) di BCCF Simpul Space, Bandung, Jawa Barat.
Keinginan Okky mengangkat isu fenomena dunia baru media sosial karena ia menganggap isu ini sangat penting untuk ditulis sebagai sebuah karya sastra.
“Keinginan ini sudah terbersit pada tahun 2013 lalu, tapi kemudian saya membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk bagaimana menuangkan ide besar itu ke dalam sebuah cerita. Saya mengangkat fenomena media sosial, internet dan teknologi karena saya melihat bahwa ini adalah isu penting yang sedang dihadapi generasi di zaman kita, generasi digital, generasi milenial," katanya.
Ia pun menambahkan, "Ini adalah isu penting yang tidak bisa diabaikan, karena teknologi sudah menjadi bagian integral kehidupan. Maka akan sangat sayang jika hal seperti ini luput dari perhatian penulis dan tidak terabadikan, tidak terekam dalam sebuah karya sastra.”
Kerumunan Terakhir dikisahkan dalam sudut pandang orang pertama bernama Jayanegara. Dimulai dengan alur mundur, Jayanegara mengalami banyak fase dunia yang ia hadapi. Seperti ketika sang tokoh memasuki fase dunia pertama saat mengenang kehidupan masa lalu kala hidup bersama nenek yang dipanggilnya si mbah yang tinggal di sebuah desa keramat di daerah Kulon Progo, Yogyakarta, ke masa di mana ia pindah hidup dengan iklim keluarga yang kompleks bersama ayahnya, dan hingga berada di masa dunia baru ketika ia mengubah namanya menjadi Matajaya, tinggal bersama kekasihnya dan menemukan dunia internet yang belum pernah dikenal sebelumnya.
“Di situ, saya ingin menggambarkan kontradiksi-kontradiksi dari awal. Saya ingin menggambarkan Jayanegara yang hidup bersama bapaknya yang hipokrit tapi juga memuja pendidikan, modernisme, ingin serba kelihatan canggih pintar tapi kelakuan sebaliknya," kata Okky.
"Saya memberi kontradiksi kepada kehidupan si mbahnya [nenek] yang tidak berpendidikan, buta teknologi, tidak mau
nonton televisi, mendengarkan radio, tapi ternyata dia yang dianggap ketinggalan, dia yang dianggap kolot dan kuno, justru memiliki kebijaksanaan-kebijaksanaan sendiri.”
Judul
Kerumunan Terakhir sengaja Okky pilih belakangan ketika ia membaca ulang novelnya dan merasakan karakter tokohnya seperti berada dalam sebuah kerumunan. Dalam makna metafora maupun makna sebenarnya, Okky berpendapat ketika kita berada di media sosial, kita bertemu dengan orang-orang yang saling terkait tapi tak dikenal membentuk sebuah kerumunan. Dalam kerumunan-kerumunan, kita dapat mendengar mereka berbicara, mereka berteriak, mereka marah hingga akhirnya mengubah, mempengaruhi emosi dan pikiran kita.
Okky dengan gaya penulisan yang terpengaruh oleh gaya Pramoedya Ananta Toer, mengisahkan
Kerumunan Terakhir dengan sangat naratif. Kisah disusun dari bingkai satu dengan bingkai lain, dengan lurus dan informatif mengenalkan tokoh-tokoh yang berada di sekitar tokoh utama satu demi satu.
Dalam perjalanan menemukan tokoh dan menghadirkan bentuk cerita dunia baru, Okky mengaku sedikit mengalami kesulitan karena tema yang diusung dalam novelnya merupakan tema yang masih realtif sangat baru dan terbatas apalagi di kalangan sastra Indonesia. Hingga akhirnya, Okky memutuskan untuk memilih sosok tokoh utama laki-laki bernama Jayanegara atau Matajaya.
“Dalam kehidupan sehari-harinya dia itu mungkin seseorang yang kalem, seseorang yang selalu mengalami berbagai kekalahan, tidak berdaya menghadapi tantangan zaman, tidak berdaya menghadapi kekuasaan bapaknya sendiri, seumur hidup harus bertarung dengan dendam yang dipelihara, tidak mampu memiliki kebanggan, tidak ambisius, sama sekali tidak memiliki optimisme di masa depan. Tapi kemudian dia menemukan dunia baru, dunia yang menjadi harapan baru, dunia internet, dunia yang sama sekali tidak dikenalnya,” kata Okky
 Penulis Okky Madasari meluncurkan buku terbaru Kerumunan Terakhir di Bandung (4/6). (Dok. Instagram Okky Mandasari) |
Okky sangat dikenal dengan novel-novel yang mengusung tema-tema kontemporer yang sarat akan kritik sosial. Seperti
Entrok, novel pertamanya yang terbit pada 2010, menceritakan tentang perjuangan seorang wanita mendapatkan pakaian dalam di era rezim Orde Baru yang otoriter.
Berlanjut ke novel ke-dua,
86 (2011), yang mengangkat isu korupsi dan KPK dari pengalaman selama Okky menjadi wartawan. Kemudian novel ke-tiga,
Maryam (2012), mengangkat isu tentang seorang wanita yang mengalami diskriminasi dan ketidakadilan dalam memilih keyakinan dan berhasil memenangkan Khatulistiwa Literary Award.
Novel ke-empat,
Pasung Jiwa (2013) mengisahkan tentang seorang tokoh manusia yang berjuang mendapatkan hak kebebasan berekspresi, hingga pada (2016) novel terbarunya
Kerumunan Terakhir hadir mengangkat kisah tentang kegelisahan seorang manusia berada di dunia baru.
Dalam kisah novelnya, Okky ingin menunjukkan bahwa persoalan teknologi bukan hanya tentang hal sepele atau gaya hidup belaka, tetapi lebih dari itu isu teknologi sangat penting dalam menciptakan dan mengubah karakter-karakter baru dengan segala macam peluang dan solusinya.
‘’Saya selau bandingkan apa yang terjadi saat ini dengan revolusi industri dan teknologi. Begitu banyak perubahan terjadi dalam masyarakat kita, begitu banyak karakter manusia berubah, lalu banyak masalah-masalah baru muncul tapi juga kemudian begitu banyak peluang-peluang baru sehingga akhirnya terbentuk pula pola kehidupan baru manusia,’’ kata penulis yang mengagumi karya-karya ilmuan seperti Michel Foucault dan Sartre ini.
“Dan harapannya dengan kisah seperti
Kerumunan Terakhir, pembaca-pembaca, pengguna sosial media, pengguna internet, bisa memiliki pandangan yang berbeda, bisa lebih kritis, bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru atas teknologi yang digunakan itu.” Katanya
Ayu Oktariani (28), pembaca setia dari Bandung yang sudah menggemari karya novel-novel Okky Madasari sejak 2011 datang bersama anaknya. Ia merasa tokoh dalam novel
Kerumunan Terakhir mengingatkan dirinya.
“Saya merasa seperti Matajaya, fase saya mempunyai nama baru itu terjadi pada saat saya mengenal era internet, memulai Twitter, Facebook, Instagram, hampir semua media sosial menggunakan nama baru. Tapi kemudian dua-tiga tahun ini saya merasa dunia saya hilang, dunia saya yang Ayu itu hilang hingga kemudian saya memperkenalkan diri saya sendiri sebagai Ayu Oktariani.” Katanya
“Kalau menurut saya, tulisan-tulisan Mbak Okky itu suara kegelisahan yang mewakili apa yang saya perjuangkan, hampir seluruh aspek kehidupan manusia, bukan cuma hidup saya dan hidup orang-orang di sekitar, itu semua digambarkan kembali sama Mbak Okky. Dari kelima novel, favorit saya
Maryam.” katanya
Selama 10 hari Okky Madasari melakukan tur novel
Kerumunan Terakhir di beberapa wilayah Indonesia, dimulai dari Malang, Surabaya, hingga Bandung dan Bali. Hari ini (5/6), pukul lima sore, sang novelis akan mengadakan tur bincang novel
Kerumunan Terakhir di Taman Baca Kesiman, Jalan Sedap Malam 234, Denpasar, Bali.
(vga/vga)