Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah persaingan antara produser musik elektronik, bisa dibilang Diplo menjadi yang terdepan saat ini.
Walau hanya mengandalkan turntable dan perangkat lunak komputer, namun musik yang dihasilkannya sangat kaya dengan berbagai nuansa, mulai dari dancehall, reggae hingga soca.
Tentu saja pria tampan asal Mississippi berusia 37 tahun ini terinspirasi dari banyak hal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, masih banyak yang memandang sebelah mata bakat bermusik Diplo. Sebagian besar menganggap dirinya "mencuri kebudayaan untuk tujuan komersialisme".
Dalam wawancara yang dikutip dari
NME pada Kamis (1/9), bapak dari dua orang anak ini memberikan sanggahannya.
Menurutnya, ia tidak melakukan hal yang terlarang. Karena sejak dulu ia selalu ingin membuat karya yang sarat dengan keberagaman budaya.
"Ketika saya tumbuh besar, tidak ada yang meminta saya untuk mendengarkan salah satu jenis musik tertentu. Saya mendengarkan banyak musik, sampai heavy metal," kata Diplo.
"Saya tidak pernah berpikir untuk memainkan gitar, meski saya berkulit putih. Sayangnya, saya hanya bisa memainkan turntable. Mungkin kalau saya bisa bermain gitar, saya tidak akan banyak dikritik," lanjutnya.
Rekan kolaborasi Skrillex dalam kelompok musik elektornik Jack U ini juga menyindir orang-orang yang selalu menganggapnya sebagai "pencuri kebudayaan".
"Saya sangat mengagumi The Clash. Tapi tidak ada yang menyindir The Clash ketika mereka membuat lagu
Rock the Casbah," ujar Diplo.
Diplo lalu melanjutkan, kalau musisi yang baik ialah musisi yang selalu memiliki pandangan baru mengenai musik.
"Seorang musisi yang baik ialah musisi yang selalu memiliki pandangan baru. Ia tidak akan bertahan dalam satu hal yang sama," kata Diplo.
"Jika tidak begitu, musik akan sangat membosankan," lanjutnya.
[Gambas:Youtube] (ard)