Jakarta, CNN Indonesia -- Di balik lampu jalanan yang mendadak padam, genangan air yang mendadak berkecipak, atau pepohonan yang mendadak bergetar bak tertiup angin, ada raksasa setinggi 730 centimeter. Hampir setiap malam ia berkeliaran di kota. Menegakkan tong sampah yang terguling atau meniupkan mimpi indah ke pikiran anak-anak.
Suatu malam, pertengkaran kucing jalanan mengantarkan mata si raksasa berserobok dengan Sophie (Ruby Barnhill). Bocah 10 tahun itu pun terpaksa ia culik. Hanya berdaster dan selimut perca, Sophie dibawa ke Negeri Raksasa, di mana penculiknya tidur di ranjang berbentuk kapal, makan mentimun busuk, dan minum soda yang gelembungnya turun.
Hari demi hari, Sophie menyadari raksasa penculiknya jauh lebih baik hati ketimbang sembilan raksasa tukang tidur lainnya. Apalagi nyawanya terancam, mereka suka makan manusia. Hanya si penculik yang bisa menolongnya, tapi ia tak bisa diandalkan. Keduanya pun memutar otak mencari cara. Mulai dari mimpi sampai melibatkan Ratu Inggris (Penelope Wilton).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sophie pun menyebut raksasanya: BFG,
big friendly giant, raksasa yang ramah (Mark Rylance).
Steven Spielberg, sutradara kenamaan, mengadaptasi cerita itu dari buku karya penulis cerita anak, Roald Dahl. Disney, perusahaan besar Hollywood mengemas cerita yang dirilis 1982 itu secara
live action. Tapi entah kenapa, gabungan nama-nama papan atas itu tidak membuat
The BFG menemukan jalannya untuk menjadi 'raksasa.'
Dirilis di Amerika beberapa bulan lalu, film itu flop. Berbeda dengan film Disney lain yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang boleh menontonnya lebih dulu,
The BFG baru rilis di Negeri Khatulistiwa pekan ini. Itu pun tidak terlalu mendapat perhatian.
Spielberg yang sukses dengan berbagai genre film termasuk fantasi seperti
ET, kurang mampu mempertahankan rasa penasaran dan tawa penonton bahkan sampai ke tengah film. Hanya di awal penonton dibuat penasaran oleh kehadiran BFG. Adegan bangun malam-malam dan penculikan diubah menjadi interaksi menyenangkan lewat perdebatan Sophie dan BFG dan bagaimana si raksasa tidak bisa berbicara berbahasa Inggris dengan baik dan benar. "Dia tidak pernah sekolah," begitu kata Sophie.
Penonton tak bisa tak tertawa mendengarnya menyebut 'being' menjadi 'bean' atau 'buaya' menjadi 'buaian.'
Namun sampai di tengah film, cerita itu jadi terlalu membosankan. Banyak interaksi yang percuma, pengejaran mimpi yang terasa sia-sia, sampai perpisahan haru yang berujung urung. Alur dan penggarapannya agak kasar di tengah film. Padahal kiprah Dahl dan Spielberg seharusnya tak perlu diragukan lagi.
Beberapa adegan yang seharusnya bisa memicu emosi penonton justru dibiarkan begitu saja. Alur cerita tidak dibuat meruncing pada satu konflik, emosi penonton tidak dibangun sampai puncak. Penyelesaian masalah besar yang dihadapi Sophie dan BFG pun terlalu mulus. Alhasil, dongeng klasik anak-anak itu terasa datar dan antiklimaks.
Komedi yang terselip di dalam naskah terkadang menghibur, tapi tidak mampu menutupi kehampaan akhir cerita. Namun itu mungkin tidak akan dirasakan penonton anak-anak, yang menjadi target utama film ini. Mereka juga mungkin tidak merasakan kekurangan visual yang terasa setiap interaksi Sophie dan BFG dibawa lebih dekat.
Aneh melihat Disney yang biasanya rapi dan sudah menghasilkan film-film
blockbuster berbagai genre, alpa soal visual dalam
The BFG. Walau raksasa diwujudkan dengan sangat detail, termasuk kerut di sudut mata dan telinga runcing yang bisa mendengar apa saja, banyak adegan yang sangat terlihat menggunakan CGI. Karakter di dalamnya pun terasa 'tempelan.'
Saat Sophie duduk di mangkuk BFG misalnya, latarnya terasa tidak nyata. Demikian pula saat ia mendadak 'hinggap' di jendela.
Meski begitu,
The BFG masih mampu menghadirkan humor-humor kocak yang membuat perut bergejolak. Di balik kisah antiklimaksnya, film itu juga menyuguhkan beberapa pelajaran berharga bagi anak-anak. Soal perundungan, misalnya. Film ini mengajarkan bahwa semengerikan apa pun pelakunya, korban perundungan harus berani berontak dan melawan.
Mungkin tidak dengan otot, tapi bisa dengan otak. Persahabatan dua makhluk: Sophie manusia normal dan BFG raksasa, juga bisa jadi simbol kesatuan di tengah perbedaan. Secara keseluruhan film ini layak mendapat angka enam dari 10.
(rsa)