Jakarta, CNN Indonesia -- Sebagai teknisi komputer di sebuah kantor, Denchai (Ter Chantavit) kerap dianggap tak ada kehadirannya. Kecuali, saat komputer rusak.
Sementara, Nui (Mew Nittha) sebaliknya. Dengan parasnya yang cantik, Nui karyawan marketing di kantor yang sama dengan Denchai, kerap menjadi pusat perhatian dan selalu riang.
Masalahnya Denchai telah jatuh cinta sejak pertama kali ia memperbaiki komputer Nui yang bermasalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak itu pula ia mencari tahu segala sesuatu tentang wanita yang disukainya itu; tentang impiannya ke festival salju, tentang koleksi set
mainan di meja kerjanya yang kurang satu, hingga kesulitannya mencari tempat parkir kantor. Semua Denchai tahu.
Hanya saja, Nui tak pernah tahu itu. Dan ia justru jatuh cinta dengan atasannya yang tampan bernama Top, yang sudah beristri dan punya anak.
Saat darmawisata kantor ke Hokkaido, Jepang terjadi insiden yang membuat Nui hilang ingatan selama satu hari. Denchai merasa inilah jawaban atas doanya: menghabiskan satu hari bersama Nui. Dan untuk itu ia rela melakukan apa saja. Termasuk terluka.
Film komedi romantis One Day adalah film komedi romantis yang sentimentil. Dari awal kemunculan karakternya saja, film ini sudah sangat sentimentil dengan menghadirkan sosok Denchai yang terlalu cupu, juga kaku.
Denchai berpenampilan jelek, berambut keriting, perut buncit, hingga berpakaian yang lusuh dan jauh dari modis.
Namun, di sinilah sutradara Banjong Pisanthanakun memainkan emosi penonton. Apakah akan bersimpati atau jujur dan berperilaku sama dengan Nui yang dengan lugas mengatakan, “Pria sepertimu tak mungkin jadi pacarku!”
“Pria sepertiku?”
“Ya, sepertimu!” ujarnya sembari menunjuk dari atas kepala hingga ujung kaki.
Adegan-adegan yang sederhana dan jujur itulah yang menjadi kekuatan Banjong kali ini. Berbeda dengan dua film yang ia sutradarai sebelumnya,
Pee Mak atau
Hello Stranger yang mungkin lebih riuh,
One Day menyentuh hampir setiap adegannya. Bahkan, dalam adegan yang komedi sekalipun.
Seperti saat menggambarkan betapa
invisible atau tidak dianggapnya Denchai sehingga harus berpakaian bata merah persis seperti dinding. Adegan ini mengundang tawa, tapi juga sedih di saat bersamaan. Begitu juga saat Denchai mengalah memberikan tempat parkirnya, atau mengintip dari jauh saat Nui sedang bersama Top. Adegan-adegan ini dibuat lucu, tapi di sisi Denchai sama sekali tidak lucu.
Begitulah Banjong. Dan disinilah kekuatan filmnya.
Di luar penyutradaraan, dan skenario yang matang, film ini dimainkan dengan baik juga oleh Ter Chantavit dan Mew Nittha sebagai Denchai dan Nui. Keduanya menghidupkan drama lewat
chemistry yang kuat.
Duduk melantai, saling menggodai di supermarket hingga menghabiskan waktu bermain salju. Tertawa. Atau sekedar menatap mata. Penonton merasakan indahnya jatuh cinta, dan seperti ikut merasakan betapa kedua pasangan ini serasi dan tak perlu berpisah. Ketika itu terjadi, maka ada yang basah di pelupuk mata.
“Kita sama-sama mengejar Gunung Everest kita masing-masing!” ujar Denchai. Dan adegan itu jeda sejenak. Sunyi. Salju turun. Penonton diam larut dalam kesedihan.
One Day mungkin tidak akan sesukses secara komersil seperti
Pee Mak, akan tetapi secara kualitas, film ini jauh lebih baik, matang dan sarat makna.
Penggunaan salju sebagai yang putih, dingin, dan meleleh adalah representasi cinta yang dimiliki Denchai, juga Nui.
Lewat
One Day, Banjong makin menegaskan bahwa ia adalah sutradara Thailand yang film-filmnya patut diperhitungkan.
Film produksi Gross Domestic Happiness, nama baru dari GTH ini, tayang di bioskop CGVblitz mulai 21 September 2016.
(rsa)