Jakarta, CNN Indonesia -- Penyair Suriah Adonis punya solusi untuk konflik yang terus-menerus terjadi di Timur Tengah. Menurutnya, fanatisme agama "menghancurkan hati dunia Arab.”
Tapi puisi bisa menjadi jalan keluar. “Puisi tidak akan bisa menggorok leher anak, tidak akan membunuh orang atau menghancurkan museum,” ujarnya pada AFP.
Bahkan ia percaya bahwa puisi bisa membawa peran penting dalam kasus perbedaan antara keyakinan dan negara. “Puisi Arab selalu menentang Tuhan.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan, “Tidak ada penyair hebat dalam sejarah [Arab] yang benar-benar orang yang punya keyakinan, seperti [Paul] Claudel di Perancis.”
Adonis, yang punya nama asli Ali Ahmad Said Esber itu sudah lama mengharapkan perubahan. Ia merupakan seorang Alawite, sebuah sekte yang juga diyakini oleh Presiden Suriah Bashar al-Assad. Adonis pernah mengirim surat pada sang presiden pada 2011. Saat itu, ia meminta adanya perubahan dari segi demokrasi.
Tak seperti orang lain yang sangat fanatik pada agama, ia justru percaya pada sekulerisme. Menurutnya, itulah masa depan. Agama dan negara harus dibedakan.
“Harus saya katakan tidak bisa ada revolusi sekuler dengan orang-orang dari masjid. Revolusi adalah satu hal, dan masjid itu hal yang berbeda,” tuturnya.
Cara menjembatani itu, sekali lagi dengan puisi. Karena seperti yang Adonis tegaskan, puisi tidak pernah bisa dikekang. “Selama masih ada kematian, akan tetap ada puisi,” tutur penyair kontroversial berusia 86 tahun itu.
“Puisi tidak akan pernah bisa dibungkam.”
Selain penyair, Adonis juga merupakan kritikus, pelukis, dan penulis esai. Ia pindah ke Paris pada 1985 dan dikenal sebagai Commander of France's Order of Arts and Letters. Ia dijagokan sebagai pemenang Nobel pada masa Arab Spring, 2011.
Namanya terus muncul sebagai pesaing Nobel. Namun hingga saat ini ia belum juga berhasil menggaet penghargaan tertinggi bidang sastra dunia itu.
Menjadi sastrawan tidak ada dalam darah Adonis. Ia justru terlahir dari keluarga petani yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal dan layak selama ini.
Perlahan, kehidupan Adonis lepas dari keluarga miskin di barat Suriah itu.
“Saya tidak pernah melihat mobil, listrik, atau telepon sampai saya berusia 13 tahun. Saya selalu bertanya pada diri saya sendiri, bagaimana saya bisa menjadi orang yang berbeda. Itu hampir seperti keajaiban,” ia pernah mengungkapkan.
Meski tidak menyukai kekentalan agama di negerinya, Adonis mencintai Arab. Ia mengutuk Amerika seperti halnya Rusia. Baginya, mereka hanya dua negara adidaya yang egois dan lebih suka memikirkan kepentingan masing-masing.
“Amerika tidak mencari solusi, mereka itu mencari masalah. Mereka tidak punya visi yang koheren. Begitu juga dengan Rusia,” katanya di Gothenburg Book Fair.
Ia melanjutkan, “Dunia Arab itu strategis. daerah yang kaya dan warga Arab adalah orang-orang yang berharta.” Tapi untuk memajukan itu, butuh keajaiban puisi.
(rsa)