Jakarta, CNN Indonesia -- Namanya mungkin tidak sepopuler kakaknya Agus Djaya atau pelukis lain seperti Sudjojono. Namun, Otto Djaya, yang pada Kamis (6/10) tepat berusia 100 tahun, ternyata cukup produktif.
Hingga akhir hayatnya, Otto telah melahirkan lebih dari 200 lukisan, dan karya-karyanya banyak diminati oleh kolektor seni, termasuk Presiden Soekarno.
Dalam peringatan satu abadnya, Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran bertajuk '100 Tahun Otto Djaya (1916-2002)’, yang diinisiasi Inge-Marie Holst dan suaminya Hans Peter Holst, peneliti dan kolektor karya-karya Otto. Pameran yang menampilkan sekitar 171 lukisan Otto ini turut dikuratori Rizki A. Zaelani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saya mengoleksi karya-karya Otto sejak lima atau enam tahun lalu,” ujar Inge-Marie, saat ditemui CNNIndonesia.com, disela-sela pameran, pada Selasa (4/10).
Koleksi tersebut dikumpulkan Inge-Marie saat ia berada di Indonesia, dan juga Belanda. Dalam riset yang dilakukannya, Inge-Marie juga mengetahui bahwa karya Otto juga pernah dikoleksi oleh mantan Presiden Soekarno.
Lukisan naratifBertempat di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, pengunjung akan disambut dengan deretan lukisan karya Otto yang dibagi atas beberapa tema. Ruangan paling depan, misalnya, mengusung tema persoalan masyarakat Indonesia seperti korupsi dan bobroknya birokrasi di Indonesia. Di sini, terdapat lukisan Otto yang dibuat pada 1999, berjudul "Perang Terhadap Korupsi”.
Dalam lukisan ini, ia menggambarkan masyarakat ramai yang tampak sedang membawa senjata melawan manusia-manusia berkepala tikus yang berpakaian rapi, dan membawa tas berisikan uang.
Berpindah ke ruang lain yang berlatar merah, ada sejumlah lukisan dengan tema zaman revolusi. Di sini terdapat lukisan "Pidato Presiden Soekarno" yang dibuat Otto pada 1961.
Di lukisan ini, tampak Soekarno yang berdiri di atas podium sedang berpidato di hadapan masyarakat ramai. Tepat di sampingnya, terdapat seruan; "Satu Tanah Air, satu bangsa, satu tekad, tetap merdeka!"
Gaya lukisan naratif Otto juga tampak di lukisan ‘Perempuan Putih di bawah Pelangi’. Lukisan dengan sesosok perempuan tanpa busana yang berada tepat di bawah lengkung pelangi itu begitu mencolok, meski ukurannya tidak begitu besar dibanding yang lainnya. Berukuran hanya 82x 69 cm, lukisan itu mencuri perhatian berkat permainan warna dan detilnya yang mempesona.
Inge-Marie menyebutkan, lukisan tersebut merupakan yang tertua di pameran ini, karena dibuat pada 1958. Lukisan seri tanpa busana itu jugalah yang salah satunya menjadi koleksi Presiden Soekarno.
Humor dan sarkastikMenurut Inge-Marie, lukisan-lukisan Otto terlihat unik, karena ia mengekspresikannya dengan gaya melukisnya yang khas, yakni naif dan berwarna-warni.Warna-warna yang digunakan Otto terbilang sangat progresif untuk pelukis yang hidup di masanya. Selain itu, ia melukis karyanya dengan cara yang sarkastis dan penuh humor.
Lukisan-lukisan Otto banyak menampilkan nilai kenangan dan konteks persoalan sosial-budaya yang bersifat lokal dan keseharian, seperti penggambaran akan pasar, warung, para pedagang asongan, perayaan perkawinan, pertunjukan kesenian tradisi, perjalanan dengan kendaraan bermotor, sepeda, kereta kuda dan lainnya.
Dengan selera humornya, ia juga kerap menyisipkan tokoh dunia pewayangan atau punakawan, seperti Petruk dan Gareng. Unsur komedi ini dapat dikatakan semacam sindiran yang ingin ia sampaikan terhadap kondisi sosial saat itu.
Meski berkarya dari akhir 1940-an hingga 1990-an, pameran Otto Djaya kali ini tidak disusun berdasarkan tahun ia berkarya. Namun, disusun menurut pembagian tema.
“Pameran ini memang lebih merupakan undangan untuk publik, supaya mengenal dan membicarakan lagi akan sosok salah satu pelukis Indonesia yang jarang dibahas sebelumnya,” tambah Rizki. Oleh karenanya, jika ada kolektor yang juga mengoleksi karya Otto, maka berkesempatan untuk berkumpul dan melanjutkan perbincangan mengenai Otto Djaya lebih jauh.
Pameran bertajuk ‘100 Tahun Otto Djaya’ berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta dari 30 September hingga 9 Oktober mendatang. Panitia penyelenggara juga menggelar tur galeri pada Sabtu (8/10), dan diskusi pada Minggu (9/10) untuk mengupas karya Otto lebih jauh.
Pameran ini juga turut meluncurkan buku tentang Otto Djaya dan karya-karyanya, berjudul The World of Otto Djaya (1916–2002).
(rah/rah)