Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan rasisme, yakni keyakinan bahwa suatu ras tertentu jauh lebih baik dari ras lainnya, makin mencuat dalam beberapa waktu terakhir, terutama terhadap etnis Tionghoa. Tidak hanya dalam perbincangan sehari-hari, tapi juga di media sosial hingga menyinggung pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Isu ini juga mengusik Teuku Adifitirian atau yang lebih dikenal dengan Tompi. Dokter yang juga penyanyi itu mengatakan isu rasisme makin mengkhawatirkan karena dapat berdampak buruk di masa yang akan datang. Apalagi, kata dia, masih banyak masyarakat yang tidak menelaah informasi lebih jauh sehingga menerima begitu saja apa yang disampaikan orang lain.
Tompi lalu menuangkan keresahannya lewat pameran fotografi yang ia beri tajuk
Chinese Ink.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai judulnya, pria kelahiran Aceh, 38 tahun lalu itu menghadirkan 40 foto yang mengkritisi isu rasisme dan bagaimana menyikapinya. Pameran ini berlangsung di Galeri Oktagon Jakarta, dari 2 hingga 8 November 2016.
Foto yang dihadirkan Tompi hampir keseluruhannya hitam putih. Modelnya beragam, tidak hanya dari etnis Tionghoa, seperti kehadiran Jerry Aurum dan Olga Lydia, tapi juga sejumlah model berwajah ‘pribumi’ sebagai pembanding.
Dari beberapa foto tampak, ia juga memanfaatkan tumpahan tinta pada wajah model. Kombinasi hitam putih dan penggunaan tinta menjadi medium bagi Tompi untuk menyampaikan pesannya; bahwa bagaimana mungkin seseorang bisa bersikap rasis, hanya dengan membeda-bedakan orang dari warna kulit.
Dalam proses pemotretan, kata Tompi, ia melakukan pendekatan khusus dengan para model. Caranya, ia memberi narasi, lalu model-lah yang akan menyampaikan emosi dengan cara sealamiah mungkin. Tompi lalu memotretnya seolah mereka tak merasa sedang dipotret.
“Usai mengatur suasana studio, dari mulai pencahayaan, format foto, dan kamera, selanjutnya saya biarkan proses pemotretan mengalir untuk merekam karakter dan emosi subyek yang difoto,” ujarnya.
Keseluruhan foto yang dipamerkan, kata Tompi, diambil dengan kamera analog format besar. Ia juga mesti melalui proses cukup lama dengan mencuci film hingga cetak foto di studio kamar gelap yang ia miliki.
Proses dari memotret hingga mencetak foto ini, disampaikannya, memberi kepuasan tersendiri. Terutama di saat kamera digital menjadi tren.
Tompi menuturkan, hasil bidikannya yang dipamerkan kali ini bertujuan untuk menjadi pengingat dan menyadarkan publik, bahwa pada hakikatnya manusia tak berhak menjadi ‘juri’ atau menilai dirinya lebih baik dari orang/ras lain.
 Lewat pameran foto Chinese Ink, Tompi menyampaikan kegelisahannya terhadap isu rasisme. (Foto/Courtesy:Tompi) |
Rilis albumPameran
Chinese Ink menjadi bagian dari rencana Tompi dalam perilisan album barunya yang ia beri tajuk
Romansa. Album ini sempat tertunda cukup lama sekitar 1,5 tahun, dan dijadwalkan rilis pada 2 November 2016.
Sebagai lagu andalannya, Tompi menyodorkan lagu berjudul
Sandiwara. “Pengambilan gambar untuk video musiknya, melalui pendekatan fotografi yang saya kuasai,” ujar Tompi.
Tidak hanya itu, hasil bidikan kamera Tompi juga menjadi sampul album dan gambar pendukung di dalamnya.
Fotografi telah menjadi dunia ke-tiga, setelah kedokteran dan musik, yang ia geluti serius dalam tiga tahun terakhir.
Tompi mengatakan dirinya belajar banyak mengenai fotografi bersama beberapa temannya yang berprofesi sebagai fotografer. Setiap hari, dia membawa serta kamera analog dalam setiap aktivitasnya, sehingga ia merasa menjadi fotografer merupakan profesi profesionalnya yang ke-tiga, setelah dokter dan penyanyi.
Pameran Tompi bertajuk
Chinese Ink berlangsung di Galeri Oktagon, Jl. Gunung Sahari Raya No. 50A Jakarta, dari 2 hingga 8 November 2016.
(rah)