Jakarta, CNN Indonesia -- Sebuah kotak dengan panjang dua meter muncul di tengah kerumunan penonton yang seketika buyar dan tak beraturan. Sorotan lampu proyektor lalu mengarah ke kotak tersebut.
Tak lama berselang, seorang pria dengan jaket kulit hitam berdiri di samping kotak itu sambil bergumam atau mirip mengucapkan mantra. Suasana berubah mencekam, dan sorotan lampu yang mengarah ke kotak itu menimbulkan beragam pertanyaan karena menampilkan bentuk yang berubah-ubah, seperti lambang 'hati-hati mudah pecah', kemudian lambang 'bahaya', atau justru pola tertentu yang tak dikenali.
Sekitar lima menit setelah pria itu mengucap mantra, muncul sesosok wayang orang dengan wajah menyeramkan dari dalam kotak. Sejumlah penonton sempat bergeming, dan mundur beberapa langkah untuk menghindari sekiranya ada sesuatu yang mengagetkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, pentas yang merespons instalasi bambu berbentuk paus raksasa karya Jonas Sestakresna itu menampilkan dua orang yang berada di atasnya. Satu berjalan, dan lainnya merangkak dengan tutup kepala mirip keranjang sampah.
Setelahnya, area pun diramaikan oleh sejumlah pemeran yang muncul di berbagai tempat. Beberapa di antaranya ada yang berambut panjang terus bergumam tak jelas, ada yang tertawa, menangis, marah, hingga berteriak.
Sementara, sejumlah tokoh yang menggunakan penutup kepala berupa keranjang sampah bertingkah aneh. Mereka menjatuhkan badan ke lantai, berguling, berjalan kemudian terseok-seok dan sebagainya.
Tak lama tokoh-tokoh itu bergeser menuju videotron dan memanjatnya. Mereka memasukkan kepala ke dalamnya, hingga layar pun memunculkan kolase bagian wajah yang digabungkan. Dari penggabungan bentuk hidung, mulut, mata, hingga telinga.
Adegan pun beralih kembali ke atas instalasi kembali, di mana terdapat sekelompok pemeran yang kini menyerupai paduan suara dengan kesamaan kostum seperti jaket kulit hitam dan berambut panjang.
Dengan arahan konduktor, barisan tokoh itu mengeluarkan suara yang tak jelas lafal dan artikulasinya. Seketika mereka turun, dan digantikan dengan kemunculan sosok Gatot Kaca.
"Aku adalah Gatot Kaca," teriaknya.
 Sosok Gatot Kaca hadir dalam pementasan T.T.T, dalam pembukaan Festival Teater Jakarta. (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Kelompok paduan suara di bawahnya pun menyambut dengan teriakan, bak vokalis band yang ada di tengah konser.Secara mengejutkan, Gatot Kaca lalu melepaskan sejumlah atribut yang menempel di tubuhnya. Dan di balik kegagahan karakter Gatot Kaca, aktor itu ternyata memiliki rambut panjang berwarna merah jambu dan lihai menari. Sebuah kontras yang seketika menggelitik.
Terdengar riuhan pemeran yang semakin kencang, Gatot Kaca loncat dari atas instalasi dan diarak oleh kelompok paduan suara yang seolah berubah menyerupai aksi penonton konser.
Di akhir pertunjukan, tiba-tiba muncul seorang pria hanya bertutupkan kain dengan cat putih pada kelaminnya membawa cahaya merah seperti kembang api. Kemunculannya tak diduga dan seperti awal pementasan, semua mengundang tanya.
Pentas pembukaPementasan bertajuk To the Tit atau T.T.T itu tampil di plaza Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Senin (21/11). Di bawah langit Jakarta yang tengah diguyur hujan, para pemeran tetap bersikukuh memberikan aksi terbaiknya, meski ada beberapa momen yang membuat penonton buyar karena air hujan.
"To the Tit adalah perjalanan menuju evakuasi,” kata Yustiansyah Lesmana selaku Sutrarada T.T.T saat ditemui disela-sela pementasan.
Dalam pementasan yang juga menjadi pentas pembuka gelaran Festival Teater Jakarta 2016 itu, Yustiansyah bekerja sama dengan sejumlah seniman, di antaranya Jonas Sestakresna & Rumah Kreatif Jati Tujuh yang berfokus pada instalasi, After Party Experiment (APE) dan VJ Macula untuk multimedia atau video mapping, Ensemble Tikoro untuk guttural vocal ensemble, dan Taufik Darwis sebagai dramaturgi.
Menurutnya, pementasan kali ini ingin menyampaikan sebuah kegelisahan."Gelisah pada kondisi di antara, ketika menjalani transisi sebagai peristiwa yang tidak stabil,” ujarnya menambahkan.
Praktik kolaborasi itu mengambil salah satu penanda pada tema yang diberikan oleh FTJ. Itu berupa tiga kategori bebas yakni trans, isi dan strip (-). Kategori strip kemudian dipilih dalam kolaborasi tersebut dengan argumentasi bahwa, "Kualitas transisi sendiri, dan sebagai penanda, dia lebih kosong sekaligus terbuka bagi praktik kolaborasi yang akan dilakukan."
Makna 'strip' juga berkembang, misalnya dengan mempertanyakan, "apakah pertunjukan terdiri dari serangkaian strip yang mengalami perubahan kualitas transisi atau terdiri dari strip yang tidak mengalami perubahan kualitas transisi, atau terdiri dari strip yang tidak mengalami perubahan sama sekali hingga menjadi tit?"
"Atau malah menjadi pertanyaan atas keduanya," ujarnya.
Geliat itu yang kemudian digunakan untuk merepresentasikan kondisi teater masa kini yang berada di antara proses transisi itu sendiri.Apa yang mereka tampilkan, menjadi "pantulan" untuk Festival Teater Jakarta yang sedang dalam tahap melakukan perubahan dengan memperlihatkan adanya kegelisahan, kebingungan, serta timbulnya pertanyaan.
Seperti kemunculan tokoh Wayang Bharata yang lebih dikenal sebagai teater tradisi, tapi di balik itu juga mewakili yang kontemporer. Semangat yang sama juga dihadirkan lewat kolaborasi lintas disiplin seni, dan pemanfaatan teknologi. seperti videotron sebagai bagian dari penampilan.
Secara keseluruhan, pentas itu sukses menimbulkan banyak pertanyaan, dan kebingungan. Mereka melampaui batas-batas yang ada, antara teater tradisi dan kontemporer, dan menyatukan keduanya di saat bersamaan.
 Pementasan teater turut menghadirkan beberapa aksi mengejutkan dan properti yang mengundang tanya. (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri) |
Sutradara pementasan, Yustiansyah memang bukan kali ini memberi kejutan pada panggung teater. Ia pernah menyabet penghargaan Sutradara Terbaik Festival Teater Jakarta 2014 lewat pementasan Likukuliku (2014) produksi Teater Ghanta.
Sementara, Jonas Sestakresna adalah seniman rupa yang berfokus pada media baru dan dikenal lewat penciptaan berbagai pertunjukan multimedia dengan instalasi bambu. Di tangannya sentuhan teknologi menjadi nilai tambah yang membuat takjub.
Di luar peran keduanya, jelas ada dramaturgi yang matang dari Taufik Darwis, serta keunikan Ensemble Tikoro, kelompok paduan suara yang memainkan suara leher dengan mengolah teknik vokal dalam musik metal, extended vocal, gangsa, ngolotrok dan teknik throat singing lainnya.
Pementasan pembuka ini setidaknya berhasil menerjemahkan Transisi, yang menjadi tema festival teater tahun ini, dan membuat yang hadir mengalami pengalaman menonton yang tak biasa.
(rah)