Ernest Prakasa, Dari Komedian ke Sutradara

Agniya Khoiri | CNN Indonesia
Senin, 19 Des 2016 14:14 WIB
Mengawali popularitasnya sebagai komedian di stand-up comedy, bermain di sejumlah film, penulis skenario, kini ia juga mencuri perhatian sebagai sutradara.
Mengawali popularitasnya sebagai komedian di stand-up comedy, aktor, menulis skenario, kini ia juga mencuri perhatian sebagai sutradara. (Foto: CNN Indonesia/Agniya Khoiri)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ernest Prakasa mengawali popularitasnya sebagai komedian di ajang stand-up comedy beberapa waktu lalu. Ia turut bermain di sejumlah film yang membuatnya diperhitungkan sebagai aktor. Tak berselang lama, ia juga menjajaki profesi di balik layar dengan menjadi penulis skenario dan sutradara lewat debutnya Ngenest.

Film Ngenest diadaptasi dari novel berjudul sama. Novel ini menjadi fenomenal karena mengangkat tema yang dekat dengan keseharian dan seolah menggambarkan pengalaman pribadinya sebagai seorang Tionghoa. Ketika diangkat ke film, ia tidak hanya duduk sebagai sutradara, tapi juga turut menjadi penulis skenario, sekaligus pemeran utama.

Totalitasnya mencuri perhatian. Pada ajang Indonesia Box Office Movie Awards 2016 dan Festival Film Bandung 2016 lalu, Ernest memenangkan penghargaan sebagai Penulis Skenario Terbaik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pria berusia 34 tahun itu mesti berbesar hati hanya menjadi nominasi ketika dalam ajang Festival Film Indonesia 2016, ia dikalahkan Salman Aristo dan Riri Riza lewat film Athirah dalam kategori Penulis Skenario Adaptasi Terbaik.

Meski demikian, menjelang akhir tahun 2016, penghargaan dalam kategori serupa, direngkuh Ernest kembali lewat ajang Piala Maya yang diselenggarakan pada Minggu (18/12) malam, di Grand Kemang Jakarta.

Tak hanya meraih penghargaan sebagai Penulis Skenario Adaptasi Terbaik, Ernest juga dinobatkan sebagai Debut Sutradara Berbakat.

"Semoga piala ini menjadi motivasi untuk yang memiliki passion sebagai sutradara, dan makin banyak produser yang beri kepercayaan pada sutradara baru, supaya perfilman lebih berwarna," tutur Ernest kala menerima penghargaan yang diberi nama 'Piala Iqbal Rais' itu.

Maudy Koesnaedi dan Arifin Putra sebagai pembaca nominasi menyampaikan bahwa Piala Maya kategori tersebut merupakan wujud kiprah dari mendiang Iqbal Rais sebagai sutradara muda yang wafat di usia 28 tahun. Mendiang dinilai sebagai sutradara muda berbakat yang telah melahirkan sejumlah film seperti seri film The Tarix Jabrix, Si Jago Merah, Kata Hati, dan 3 Pejantan Tanggung.

"Dulu, Iqbal besar di rumah produksi Starvision yang kini menaungi saya, sutradara baru berbakat ini hanya didapat di film pertama, semoga ini membuka kesempatan bagi teman lain," pungkasnya.

Kebanggaan tersendiri

Penghargaan yang diterima Ernest tentu membuatnya bangga, tapi dirinya juga mengungkapkan bahwa hal itu turut menjadi beban untuknya ke depan. Dia pun merasa perlu mempertanggungjawabkan yang diperolehnya itu.

"Ini beban karena film saya ke-dua (berjudul Cek Toko Sebelah) rilis pada 28 Desember mendatang. Awalnya orang mungkin tak punya harapan dan target seperti apa film saya nantinya, tapi dengan raihan ini, orang punya ekspektasi," ujarnya.

Sebelum menjadi tokoh yang ikut berperan di balik layar, Ernest pernah bermain di sejumlah film seperti Make Money (2013), Comic 8 (2014), Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014), CJR The Movie (2015), dan Comic 8: Casino Kings (2015).

Tahun ini, disela-sela aktivitasnya menjadi sutradara, Ernest juga bermain di tiga film, yakni Sundul Gan: The Story of Kaskus (2016), Koala Kumal (2016), dan Rudy Habibie (2016).

Film Ngenest yang mencuri perhatian dan membuatnya meraih penghargaan bercerita tak jauh dari pengalaman kesehariannya. Ngenest bercerita tentang seorang pria keturunan China yang merasakan beratnya terlahir sebagai minoritas yang selalu dibully oleh teman-teman sekolahnya sejak dia masih SD. Untuk pemerannya didapuk aktor cilik Sky Tierra Solana, Kevin Anggara, dan Ernest sendiri sebagai pemeran dewasa.

Menjadi korban bully membuatnya bertekad bahwa keturunannya kelak tidak boleh mengalami nasib yang sama. Untuk itu, ia berikrar untuk menikahi perempuan pribumi, dengan harapan agar anaknya kelak tidak mengalami kemalangan yang ia alami.

Dirinya berhasil bertemu Meira (Lala Karmela), seorang gadis Sunda/Jawa yang seiman dengannya. Perkenalan mereka berlangsung cukup mulus, tapi masalah timbul saat Ernest bertemu dengan ayah Meira (Budi Dalton) yang sama sekali tidak menyukai anaknya berpacaran dengan seorang China, karena ia pernah nyaris bangkrut akibat ditipu oleh rekan bisnisnya yang juga China.

Tapi akhirnya Ernest berhasil memenangkan hati calon mertuanya, dan setelah berpacaran selama lima tahun, mereka menikah. Meski demikian ia masih mengalami kekhawatiran, bila kelak memiliki anak dari Meira yang terlahir mirip penampilan dirinya dan mengalami hal serupa.

Ngenest meski dibalut dengan komedi yang kental juga sarat dengan kritik, terutama di saat merebaknya diskriminasi dan isu etnis Tionghoa yang muncul di publik.

Ernest kembali mengangkat persoalan seputar etnis Tionghoa lewat film ke-duanya, yang ia beri judul Cek Toko Sebelah. Jika di Ngenest menyoal upaya penemuan jati diri dan pernikahan, di Cek Toko Sebelah ada pengungkapan persoalan lain, seperti keturunan China yang meski berpendidikan tinggi, pada akhirnya bekerja di toko orang tuanya sendiri.

Cerita film itu ditulis Ernest Prakasa dan Jenny Jusuf dengan pengembangan cerita dari Meira Anastasia. Selain kembali menjadi pemeran, film ini turut dibintangi Dion Wiyoko, Chew Kinwah, Adinia Wirasti, Gisella Anastasia, Tora Sudiro, Asri Welas, Yeyen Lidya, dan Dodit Mulyanto. (rah)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER