Jakarta, CNN Indonesia -- Dibuka dengan prolog panjang tentang kondisi Assassins versus Templar di abad ke-15 (1492) di Spanyol, penonton berhadapan dengan Aguilar (Michael Fassbender) yang bersumpah setia sebagai seorang Assassins. Tugasnya adalah menyelamatkan Apel Eden yang diyakini sebagai 'kunci kebebasan' yang juga ingin direbut oleh Knights Templar.
Ada pendekatan sejarah dan Alkitab yang dikutip di sana-sini sebelum adegan beralih pada Abad 20, di mana ada Cal kecil yang berupaya menyelamatkan diri dari kejaran Assassin. Adegan lalu melompat lagi ke 30 tahun berikutnya, ketika Cal dewasa (Fassbender) berada di sebuah laboratorium (atau penjara) bernama Abstergon.
Nasibnya di ujung tanduk ketika Dr Sofia (Marion Cotillard) dan ayahnya Rikkin (Jeremy Irons) kemudian memberi tahu bahwa ia memiliki tugas baru: menjemput memori masa lalu Assassins lewat mesin realitas virtual yang disebut Animus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sini kisah
Assassins' Creed dimulai dan menegangkan. Dari awalnya Cal 'terpaksa' bertarung hingga sampai di titik ia menyerahkan diri sepenuhnya untuk 'bertarung sukarela'.
Selain Cal, ada sejumlah tokoh yang muncul, seperti Moussa dan penghuni lab lainnya yang seolah mengetahui apa yang akan terjadi. Namun, sebaliknya dengan Cal yang tampak bingung dan tak mengerti apa yang sebenarnya sedang ia hadapi.
Perjalanan membingungkan
Beranjak dari skenario yang ditulis trio Michael Lesslie, Adam Cooper dan Bill Collage, sutradara Justin Kurzel seperti ingin meniru seutuhnya seri game
Assassin's Creed ke dalam layar lebar.
Di antara alur penceritaan itu, ia menyelipkan sejumlah adegan aksi di sepanjang film. Ada pertarungan di hampir setiap adegan, para pemeran yang melompati gedung-gedung dan atap rumah, desingan peluru dan tembakan anak panah, serta barisan tentara yang saling beradu senjata satu sama lain.
Gambar-gambar lanskap indah Spanyol dan pemandangan kota London ditampilkan dengan mood yang gelap, abu-abu, emas atau udara berkabut. Penggambaran suasana abad 15 kerap bergantian muncul dengan laboratorium modern yang dilengkapi mesin Animus dan layar komputer.
Namun, sayangnya, lompatan cerita dan pemeran yang dimunculkan tak memiliki karakter yang kuat. Bahkan, Fassbender dan Cotillard (keduanya bermain apik di
Macbeth) kali ini, tak mampu menghadirkan 'chemistry' yang kuat dan peran yang menonjol.
Pertanyaan-pertanyaan, seperti 'Apa yang sebenarnya sedang terjadi?' bisa jadi akan terus berulang terlontar bahkan setelah satu jam film berjalan. Kurzel seolah menganggap penonton dengan mudah memahami bahasa gambar yang ia sampaikan, sementara hasilnya tidak demikian.
 Salah satu adegan dalam film Assassin's Creed. (Foto: Courtesy 20th Century Fox) |
Komposisi musik yang dibuat Jed Kurzel juga tak membantu, bahkan terkadang terdengar kurang pas dan tak membuat film menjadi lebih mendebarkan.
Bagi penggemar game
Assassin's Creed, film ini bisa jadi akan memuaskan karena melengkapi bayangan bagaimana jika ia menjadi utuh dan dimainkan di layar lebar. Bagi yang awam, mesti puas dengan sekadar menikmati gambar lanskap indah, aksi akrobat dan bela diri para stunt, dan perut kotak-kotak Fassbender yang kali ini mendapat porsi lebih banyak dibanding saat ia jadi mutan.
Diproduksi Ubisoft Motion Pictures dan New Regency, Assassin's Creed yang didistribusi 20th Centruy Fox mungkin berhasil memenuhi keinginannya untuk mengangkat semangat game berjudul sama, akan tetapi mesti dibenahi di sana-sini untuk dapat dinikmati sebagai sebuah film.
[Gambas:Youtube] (rah)