Jakarta, CNN Indonesia -- Film-film baru Hollywood boleh saja terus bermunculan. Angka box office 2016 di domestik Amerika Utara bahkan mencapai rekor baru melalui penjualan tiket. Namun sutradara kawakan Hollywood, Martin Scorsese berpandangan bahwa masa depan perfilman semakin suram.
Dalam sebuah interview yang dikutip
Quartz, Scorsese menuturkan bahwa perfilman kini tidak seperti dulu. "Perfilman telah tiada," ujarnya. "Perfilman yang tumbuh bersama saya dan yang saya geluti telah pergi."
Sutradara
Taxi Driver, Shutter Island, The Wolf of Wall Street, dan
Silence itu melanjutkan, bioskop tidak lagi menyajikan pengalaman menonton seperti yang pernah dirasakannya. Ada perasaan senang menonton bersama di layar lebar berteknologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Namun, pengalaman seperti apa itu? Apakah itu akan selalu film 'taman bermain'? Saya terdengar seperti seorang lelaki tua, saya memang tua. Layar lebar untuk kami di tahun 50an—kalian merasakan
Westerns sampai
Lawrence of Arabia hingga pengalaman spesial
2001 pada 1968. Pengalaman menonton
Vertigo dan
The Searchers di VistaVision," ujarnya.
Ada pengalaman sinematik yang khusus kala itu. Tapi sekarang, karena teknologi makin canggih dan ada di mana-mana, pengalaman sinematik pun tak lagi terasa spesial.
"Itu [merasakan pengalaman sinematik] seharusnya berpengaruh pada hidup Anda," katanya. "Sayangnya, generasi muda tidak mengerti bahwa itu sangat berpengaruh."
Kecanggihan teknologi, menurut sineas asal New York itu, juga membuat para pelaku dunia perfilman terlalu bergantung kepada teknik superfisial. Mereka tidak lagi memikirkan bagaimana membuat gambar bagus, karena terlalu memercayakan itu pada buatan komputer.
Ironisnya, itu banyak digunakan dalam film-film blockbuster. Film-film yang laris. Film pahlawan super misalnya, tidak ada yang tidak menggunakan teknologi CGI. Pun demikian dengan live-action.
Pete’s Dragon, Jurassic World, hampa tanpa bantuan teknologi komputer.
Pandangan Scorsese diamini sineas senior lainnya, Ridley Scott. Kepada Digital Spy, sutradara Alien, Blade Runner, dan Gladiator itu mengungkapkan sentimen serupa.
"Perfilman, sebagian besar, lumayan buruk," katanya.
Hanya sedikit film dengan ide orisinal. Pahlawan super mendominasi, yang mana ceritanya sudah ada di komik. Sekuel demi sekuel masih saja laris. Pada 2015, film Scott,
The Martian menjadi satu dari dua cerita orisinal yang muncul dalam 10 film dengan pendapatan kotor tertinggi. Film dengan cerita orisinal lainnya adalah
Inside Out buatan
Pixar.
Scorsese menyalahkan studio sistem yang anti-risiko dan 'obsesi terhadap film waralaba’ atas kurangnya kreativitas yang terjadi di industri perfilman saat ini.
Sementara Scott secara spesifik mengecam film pahlawan super yang ‘berkembang biak’ beberapa tahun belakangan. Sampai-sampai ia mengaku menolak tawaran menyutradarai beberapa film bertema pahlawan super. "Saya tidak percaya pada situasi tidak realistis pahlawan super yang kurus, tipis, dan ketat," ujarnya. Pahlawan super adalah persoalan idealitas.
Meski demikian, Scorsese masih percaya ada sejumlah sineas yang bisa menjadi secercah cahaya di tengah muramnya industri perfilman saat ini. Ia menyebut nama Wes Anderson, Richard Linklater, David Fincher, Alexander Payne, the Goen Brothers, James Gray, dan Paul Thomas Anderson. Tapi mereka itu tak boleh kalah oleh kekuatan modal studio-studio besar.
Ia merasa, masalah perfilman bukan terletak pada para sineas. Studio-studio besar yang ‘memercayakan’ kantong pendapatannya pada film bertema 'taman bermain' jadi masalah. Itu seperti mematikan keinginan mereka dengan kisah-kisah yang orisinal dan penuh gairah.
(rsa)