Jakarta, CNN Indonesia -- Pada 2014 silam, muncul film dokumenter mengungkap kisah para penyelam Korea Selatan yang menyelam lautan dalam untuk mendapatkan kembali sekitar 300 tubuh--kebanyakan di antaranya adalah siswa--dari tragedi tenggelamnya kapal ferry Sewol.
Tiket pemutaran film itu ludes, namun hanya separuh penonton dari total seluruh penjualan yang hadir di bioskop.
Tidak ada indikasi apa pun saat itu. Namun
Diving Bell--film tentang tenggelamnya kapal Sewol--adalah salah satu korban dari skandal korupsi dan penyalahgunaan wewenang pemerintah Korea Selatan yang pada akhirnya membuat jutaan warga turun ke jalan untuk melihat pemakzulan Presiden Park Geun Hye.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agen penyalur film
Diving Bell, Kim Il Kwon adalah satu dari ribuan seniman yang secara diam-diam dimasukkan ke dalam 'daftar hitam' oleh pemerintah konservatif hanya karena berpikiran 'sayap kiri' atau mengkritik otoritas.
"Saya sangat terkejut. Film ini menjadi perbincangan seluruh penjuru kota dan banyak orang menunjukkan ketertarikannya sebelum rilisnya," ujar Kim Il Kwon kepada AFP.
Penjelasan muncul bulan lalu, ketika bekas Menteri Kebudayaan Cho Yoon Sun dipenjara atas beberapa tuduhan, termasuk memborong tiket dalam upaya mencegah publik menonton
Diving Bell.
'Daftar hitam' pemerintah menarget seniman-seniman yang lapar akan subsidi pemerintah dan pendanaan swasta. Menurut jaksa yang menyelidiki skandal besar ini, para artis yang masuk dalam daftar itu akan berada dalam pengawasan pemerintah.
Keberadaannya telah membuat para sineas Negeri Ginseng gemetar. Terutama yang pernah mengatakan bahwa Korea Selatan memilih berjuang mati-matian demi mendapatkan hak kebebasan berpendapat yang mengubah negara yang pernah dikuasai pemerintahan militer menjadi negara besar yang merayakan kebudayaannya.
Saat ini Korea Selatan menganut paham demokrasi. Namun banyak yang menggambarkan lansekap kebudayaan di bawah Presiden Park Geun Hye mirip dengan era kepemimpinan ayahnya, mantan Presiden Park Chung Hee, pada 1961-1979, di mana penyensoran seni dilakukan secara ketat dan kejam.
Industri hiburan Korea Selatan yang bergeliat aktif dan bersemangat telah menyebar ke seluruh penjuru Asia, dengan drama televisi, film, dan bintangnya menikmati buah manis dari meluasnya pasar mereka selama beberapa tahun belakangan. Busan International Film Festival pun menjadi agenda perfilman terbaik di Asia.
Mantan Menteri Kebudayaan Cho Yoon Sun dan bekas Kepala Staf Kepresidenan Kim Ki Choon dituduh menyalahgunakan kekuasaannya dan memaksakan 'daftar hitam' pada Selasa kemarin, bersama dua mantan pembantu Presiden Park Geun Hye.
Sangat Mengerikan Park Geun Hye berhenti mendanai seniman yang dianggap menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah. (Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji) |
Dalam 'daftar hitam' pemerintah terdapat hampir 10 ribu nama seniman di bidang film, teater, tari, musik, seni rupa, dan bacaan literatur seperti kumpulan nama tokoh dalam kancah seni di Seoul.
Mereka termasuk novelis Han Kang, pemerang Man Booker International Prize 2016 dan sutradara film
Oldboy yang mendapatkan Grand Prix di Cannes pada 2004, Park Chan Wook.
Banyak dari mereka telah menyuarakan dukungan terhadap partai-partai oposisi atau mengkritik Park Geun Hye, seperti pengacauan upaya penyelamatan tenggelamnya kapal ferry Sewol dan beberapa dukungan yang diekspresikan secara sederhana untuk para keluarga korban.
Dukungan pemerintah kepada perusahaan distribusi Kim Il Kwon, Cinema Dal, berakhir setelah
Diving Bell. Ia mengaku harus merelakan tiga dari tujuh karyawannya pergi karena hal itu.
"Para pejabat berkata kepada saya secara langsung bahwa tidak akan ada dukungan pemerintah ketika saya mendistribusikan
Diving Bell," ujarnya.
Tak hanya itu, Kim Il Kwon mengatakan, beberapa pekerja pun menyadari bahwa rekaman telepon mereka diintai oleh polisi dan otoritas intelijen.
"Saya sudah bekerja di bisnis ini selama dua dekade lebih, tapi tidak pernah melihat kejadian seperti ini. Ini sangat mengerikan," katanya.
Busan International Film Festival memutar
Diving Bell pada 2014. Sejak saat itu, penyelenggara mengalami pemotongan pendanaan pemerintah yang belum pernah terjadi sebelumnya dan penyelidikan para pejabat, dengan tidak diperbaruinya kontrak pemimpin penyelenggara.
Banyak yang curiga adanya motivasi politik. "Kami mengalami banyak cobaan berat yang tidak bisa dideskripsikan selama dua tahun terakhir. Sekarang kami tahu mengapa," ujar salah satu pimpinan Busan International Film Festival Kang Soo Yeon dalam sebuah pernyataan bulan lalu.
Ia menambahkan, "Mereka yang memiliki kekuasaan mencoba untuk menjinakkan kebudayaan agar sejalan dengan keinginannya... dengan membungkam semua suara yang membuat mereka tidak nyaman."
Hallyu, Gelombang Korea Dengan penyensoran ketat oleh pemerintah, para seniman menganggap kesuksesan Hallyu sedang berada dibawah ancaman. (Foto: AFP PHOTO / Philippe Lopez) |
Sutradara film veteran Lee Jang Ho mengungkapkan, di bawah kepemimpinan ayah Park Geun Hye, seni di Korea Selatan tunduk pada kontrol ketat. Adegan atau dialog apa pun yang menggambarkan atau dianggap memberitahukan soal kemiskinan, korupsi, atau 'aspek negatif masyarakat secara umum' dilarang.
Di antara pilihan-pilihan yang tersisa adalah 'romansa yang tak berarti.' Kepada AFP, ia mengatakan, "Itu adalah masa kelam untuk perfilman Korea Selatan."
Pria berusia 71 tahun itu mengelak dari larangan dengan karya-karya hit pada 1970an dan 1980an yang tidak mengandung kritik berlebihan, namun menampilkan perlawanan anak muda dan dilihat sebagai simbol frustrasi publik kepada pemerintah.
Pada 1992, dilakukan pemilu presiden pertama Korea Selatan yang tidak berlatar belakang militer selama beberapa dekade. Pemilu itu membuka keran film tanpa sensor, lagu, dan drama televisi. Lee Jang Ho menyebutnya sebagai dasar kemunculan 'Hallyu' atau 'Gelombang Korea' yang menyapu budaya pop Asia saat ini.
Namun, kesuksesan itu kini di bawah ancaman, menurut Choi Hyun Yong, kepala Korea Motion Picture Industry Strategy Centre. Ia menjelaskan, kebanyakan perusahaan investasi film di Seoul mengamankan sejumlah pendanaan dari pemerintah. Hal itu telah semakin mendikte film-film mana saja yang harus didukung pemerintah.
"Itu telah mendorong lebih banyak investasi pada proyek-proyek 'patriotik,' seperti sebuah film yang menampilkan tentara bertarung melawan Korea Utara, atau yang mengelu-elukan pertumbuhan ekonomi selama kepemimpinan ayah Park Geun Hye," kata Choi Hyun Yong.
Ia memperingatkan dengan mengambil contoh penyensoran berat yang dilakukan di China yang telah melumpuhkan kreatifitas artistik.
"Lihatlah China. Negara itu adalah pasar film terbesar di Asia, tapi tidak terkenal atas kekuatan lunaknya atau film-film populer yang melewati batas negaranya sendiri," katanya.
Choi Hyun Yong menutup, "Kebebasan berpendapat adalah akar dari kekuatan kita sebagai negara yang kuat secara budaya. Kita tidak bisa membiarkan permata yang diperoleh secara sulit dirampas seperti ini."
(res/rsa)