Jakarta, CNN Indonesia -- Film dengan latar agama Islam memang mulai menjamur sejak kemunculan
Ayat-Ayat Cinta pada 2008. Namun, ternyata film-film ini sudah ada sejak tahun 1960-an.
Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta Hikmat Darmawan bercerita, pada 1950-an hingga 1960-an persaingan antarpartai dan antarideologi di Indonesia cukup keras. Belum lama sepenuhnya lepas dari cengkeraman penjajah tentu membuat suasana politik belum begitu stabil.
Pada masa itu, tiga pelopor perfilman Nusantara, yakni Usmar Ismai, Asrul Sani dan Djamaludin Malik bergabung dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia). Ini merupakan lembaga seni-budaya yang digagas oleh Nahdlatul Ulama (NU).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karenanya, ketiga tokoh tersebut mengusung nilai-nilai ideologi Islam yang berhadapan dengan ideologi komunis pada saat itu.
“Mereka kemudian berpikir, Lesbumi harus ada karya-karya yang mencerminkan ideologi-ideologi religiositas yang humanis juga. Maka mereka membuat beberapa film, misalnya
Para Perintis Kemerdekaan. Lalu Asrul Sani dan Usmar Ismail membikin film tentang perjalanan haji yang di dalamnya ada banyak sekali perbincangan filosofis soal keadaan di dunia modern yang mereka lihat,” ujar Hikmat kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Hikmat melihat, dari 1960-an sudah ada kesadaran penuh dari para sineas di masa itu untuk sengaja membuat film dengan ideologi atau konstruksi nilai-nilai Islam. Selain
Para Perintis Kemerdekaan, pada 1977 Asrul Sani dan Chaerul Umam juga membuat film bernapaskan Islam dengan judul
Al-Kautsar. Ide skenario film itu juga akhirnya dikembangkan oleh Asrul untuk karya lainnya yang bertajuk
Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982).
“Banyak sekali film sepanjang 1970-an sampai 1980-an yang sebetulnya punya nuansa religius. Tapi kemudian Chaerul Umam pada 1990-an terlibat dalam pengajian, jadi ada pengentalan nilai-nilai Islam. Dia tidak puas dengan capaian lama, akhirnya dia menciptakan film dakwah. Saya kira film dakwah ini beda konstruksinya,” katanya.
Hikmat menyebut salah satu film dakwah garapan Chaerul dengan skenario Asrul adalah
Nada dan Dakwah (1991) yang dibintangi Rhoma Irama. Ia menjelaskan, film itu bukan sekadar menampilkan sisi religius, melainkan juga mendakwahkan Islam sebagai ideologi paling unggul di hadapan yang lain.
“Yang menarik adalah, Asrul memasukkan cerita tentang persoalan sengketa tanah antara pihak korporasi dengan masyarakat lokal, yang solusinya tidak dengan doa, tapi betul-betul diselesaikan dengan politik tanah juga, yakni mengajukan alternatif kepemilikan tanah bersama,” ujarnya.
Jadi Lebih PersonalIni seiring dengan banyaknya bacaan-bacaan novel remaja Islam yang masalahnya cinta-cintaan, jodoh-jodohan, pria tampan yang kemudian memilih gaya hidup Islami kemudian tobat atau poligami.Hikmat Darmawan, Ketua Komite Film DKJ |
Tren memasukkan ideologi dan nilai Islam ke dalam film itu, menurut Hikmat, berubah ketika memasuki tahun 2000-an.
Apalagi, tuturnya, dengan adanya novel
Ayat-Ayat Cinta yang kemudian memunculkan keinginan para sineas untuk mengadaptasikannya menjadi sebuah film bernapaskan Islam yang memuat unsur dakwah dengan lebih khusus.
“Jadi ada konstruksi Islam yang bukan hanya superior, tapi punya ciri-ciri khas, seperti nilai-nilainya diterjemahkan atau diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yang persoalannya seringkali tidak terlalu jelas apa hubungannya dengan ide-ide superioritas Islam," katanya.
"Maksudnya, superioritas bukan lagi pada persoalan sosial, melainkan persoalan pribadi,” ia menambahkan.
Hkmat memaparkan, persoalan pribadi yang dimaksud adalah terkait dengan gaya hidup, cinta, cara memilih pasangan, pilihan untuk berpoligami, dan lain sebagainya.
“Ada banyak sekali ini seiring dengan banyaknya bacaan-bacaan novel remaja Islam yang masalahnya cinta-cintaan, jodoh-jodohan, pria tampan yang kemudian memilih gaya hidup Islami kemudian tobat atau poligami,” katanya.