Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah Christianto Harsadi fokus memerhatikan penerjemah bahasa isyarat dalam diskusi tentang peyandang disabilitas di kawasan Jakarta Selata, Rabu (7/2) lalu. Jika di tengah diskusi itu ia memberikan pendapat, artinya ia memahami apa yang dibicarakan.
Sekilas Anto, sapaan akrab Christianto, terlihat biasa saja. Dari karyanya, ia bahkan bisa dibilang fotografer berbakat. Hasil jepretannya tak kalah dengan fotografer profesional.
Bedanya, Anto hanya tak bisa mengungkapkan apa pun secara verbal. Ia seorang tunawicara. Namun ia lebih suka disebut Tuli, yang menjadi identitas sosial dan budayanya. Seperti yang menjadi tema diskusi Rabu lalu itu, seniman disabilitas seperti Anto belum mendapat akses yang mumpuni di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal karyanya tak bisa diremehkan.
Peneliti dari Pusat Pengkajian dan Pelayanan Disabilitas Universitas Brawijaya Slamet Thohari menilai ada tiga hal yang menjadi rintangan seniman disabilitas: akses, kesempatan dan komunikasi dengan seniman nondisabilitas. Anto pun mengalami itu.
Saat ia mempelajari fotografi di bangku kuliah pada 2013, Anto mengaku tak ada yang membantunya berkomunikasi. Saat itu ia terdaftar di Universitas Dian Nuswantoro, Semarang.
"Saya belajar sendiri dengan baca buku setelah kelas. Kalau praktik, saya pakai gestur untuk bertanya lampu tempatnya di mana, dan lain-lain," kata Anto bercerita.
Selain belajar secara otodidak itu, ia juga berinisiatif sendiri mengikuti lomba-lomba fotografi. Salah satunya Canon Photomarathon. Anto bukan hanya lolos audisi, salah satu petinggi pun tertarik dengan karyanya. Ia pun membuktikan disabilitas pun bisa berkarya.
Anto kemudian menjadi fotografer lepas saat kuliah. Kurang lebih ia telah empat kali memegang sesi pemotretan pranikah. Saat itu, lagi-lagi ia harus berkomunikasi lewat gerak.
"Waktu itu teman sekolah saya yang meminta. Saya memotret dan pasangan yang menikah bebas bergaya, terkadang saya minta mereka bergaya dengan gerak tubuh," kata Anto.
Sejak itu Anto semakin percaya diri mendalami ilmu fotografi.
Katanya, ia mengidolakan Nyle DiMarco karena berhasil menjuarai America's Next Top Model musim ke-22 walau dirinya seorang penyandang tunarungu. Hingga saat ini Anto masih berupaya berkembang menjadi seniman. Ia pun bersekolah di Darwis Triadi.
Ia mengaku cara berkomunikasi dalam sekolah foto itu sama seperti ketika di kampus, lewat gerak tubuh. Namun Anto tak ingin kesulitan komunikasi menghambatnya jadi pekerja seni.
"Tapi saya lebih paham komunikasi lisan di sekolah Darwis. Praktik pun lebih mudah."
Ia berharap bisa menjadi fotografer profesional setelah lulus sekolah fotografi. Impian Anto: menunjukkan bahwa penyandang disabilitas bisa berkarya dan dipandang setara.
"Saya sangat setuju dengan pemikiran yang menilai [bahwa seniman itu dilihat] karena karya bagus, bukan menilai karena iba," kata Anto menegaskan.
(rsa)