Sabang, CNN Indonesia -- Terik matahari, syair Aceh dan tawa. Tiga hal tersebut mendominasi acara syukuran khanduri laot yang digelar para nelayan dan masyarakat pesisir di Kota Sabang, Pulau Weh, Provinsi Aceh untuk menunjukkan rasa syukur atas rezeki bahari nan melimpah.
Ratusan masyarakat berkumpul di area Dermaga Container (CT-3) Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS) untuk menyaksikan festival Gelar Tradisi Masyarakat Pesisir Khanduri Laot yang diselenggarakan mulai 28 April hingga 1 Mei.
Upacara khanduri laot dibuka dengan aksi seni tutur dengan berbalas pantun antara dua penyair Aceh. Keduanya dengan luwes melakoni peran sebagai pemimpin tamu dan tuan rumah. Rombongan tamu terdiri Penasihat Kehormatan Menteri Pariwisata Indroyono Soesilo beserta para pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"
Kami baru tiba dari JakartaMelangkah ke Sabang yang indahMaksud dan hajat semuaMau membuka sebuah acara," lantun Muhktasar Masen sebagai pemimpin rombongan tamu seraya meminta izin masuk.
Wali Kota Sabang Nazaruddin, Staf Ahli Gubernur Aceh Bidang Pemerintahan dan Politik Abdul Karim dan beberapa jajarannya berada di sisi tuan rumah. Medya Hus, penyair dari rombongan ini pun dengan lihai membalas pantun Muhktasar.
"
Laut Sabang indah sekaliDikelilingi Samudera HindiaSelamat datang rombongan menteriYang datang ke sini dari Jakarta."
Setelah sekitar sepuluh menit berbalas pantun, rombongan tuan rumah mengalah kepada rombongan tamu. Kedua rombongan lalu langsung menuju kursi hadirin. Mereka kemudian disambut dengan tarian Rapa'i Geleng yang diiringi syair Aceh. Tarian ini melambangkan keseragaman, kebersamaan, dan kekompakan dalam dinamika lingkungan masyarakat.
Acara dilanjutkan dengan seni tutur seumapa di atas panggung utama. Seumapa, yang artinya menyapa, merupakan salah satu seni tutur yang dimiliki Aceh dan Melayu. Seni tutur ini dipenuhi dengan syair pantun dan dikemas dengan bumbu jenaka.
Setelah itu, khanduri laut berlanjut dengan pembacaan ayat kursi dan pemberian santunan kepada 200 anak-anak yatim piatu.
Hadirin kemudian digiring ke pinggir laut di mana di sana terdapat beberapa kapal pukat berjajar rapi. Sejumlah nelayan, pemangku adat sekaligus panglima laot, serta penyair menuruni dermaga menuju satu kapal yang telah dihias sedemikian rupa dengan berbagai pernak-pernik khas Aceh.
Mereka bersiap untuk melakukan prosesi pelepasan kapal pukat sebagai bagian dari upacara khanduri laot ini. Semua yang berada di kapal tersebut terlihat sibuk.
Para nelayan mempersiapkan jaring dan pukat untuk dilepaskan di tengah laut, para pemangku adat kemudian sibuk membacakan doa seraya melakukan ritual melemparkan beras padi (breuh pade), tepung tawar (tepung dicampur dengan air), ketan (bu leukat), daun cocor bebek (on seunijuek), dan naleung sambo (sejenis rumput) ke arah laut. Sedangkan para penyair tak berhenti melantunkan syair-syair Aceh.
Medya, masih ditemani oleh Muhktasar dan Syeh Sofyan, menyenandungkan syair-syair yang mereka ciptakan secara spontan. Selain pada aksi balas pantun dan seumapa, trio itu juga melakukannya di sepanjang ritual pelepasan kapal pukat.
Setelah pukat dilepas di tengah laut, khenduri laot diakhiri dengan makan bersama seluruh pejabat dan masyarakat pesisir yang menghadiri upacara tersebut. Makanan yang dihidangkan berupa ikan serta daging dengan bumbu dan rempah pedas khas Aceh.
 Penyair Aceh (dari kiri ke kanan) Muhktasar Masen, Medya Hus dan Syeh Sofyan di area Dermaga Container (CT-3) Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (BPKS). (CNN Indonesia/Resty Armenia) |
Syair SpontanMedya Hus mengaku tidak pernah menulis syair yang akan dilantunkannya. Alih-alih, ia dan kedua rekannya selalu mengucapkan barisan syair dan pantun secara spontan.
"Itu spontan. Kami hanya diberi materi dan konsep saja mengenai apa yang harus disampaikan. Lalu kami melihat keadaan sekitar dan langsung spontan mengucapkannya," ujar Medya saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Medya menjelaskan, selama ini para penyair lebih memilih untuk menyampaikan syairnya secara spontan daripada menulis, karena kesulitan untuk menghafal.
"Kami ada kelebihan, ada kekurangan. Kami kalau menulis ya [berarti harus] dibaca, [padahal] tidak bisa hapal. Kalau spontan bisa, tapi kalau disuruh untuk mengulang [syair spontan itu] lagi tidak bisa," katanya seraya terkekeh.
Pria asal Banda Aceh ini menuturkan, ia sering diundang di acara formal dengan tamu kehormatan, serta acara adat seperti khenduri laot dan pesta perkawinan. Ia mengaku bangga, karena kemampuannya dalam bersyair ini bisa menjadi hal yang pantas dipamerkan kepada para wisatawan.
Medya dan rekan-rekannya kini bahkan mencoba untuk melakukan regenerasi agar anak-anak muda di Aceh bisa meneruskan dan melestarikan tradisi seumapa ini.
"Kalau sekarang cuma bertiga, ada satu lagi sudah meninggal. Tapi kami sedang mencoba untuk meregenerasikan," ujarnya.
(res)